Monday 31 December 2018

List of Presentations 2018

No
Topik
Keterangan
1.              
Penyusunan RPJMD 2018-2023
Dialog Rektor dengan DPRD Kabupaten Tulang Bawang @All Seasons Hotel Gajah Mada-Jakarta, 19 Januari 2018
2.              
Administrasi Pembangunan di Indonesia: Perencanaan, Penganggaran, dan Pengawasan
Program Doktor Bidang Ilmu Sosial Universitas Pasundan Bandung, 20 Januari 2018
3.              
Optimalisasi Otonomi Daerah: Kebijakan, Strategi dan Upaya
Program Doktor Bidang Ilmu Sosial Universitas Pasundan-Bandung, 20 Januari 2018
4.              
Tata Cara Evaluasi Pembangunan Daerah
Dialog Rektor dengan DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta @Novotel Gajah Mada Hotel-Jakarta, 5 Februari 2018
5.              

6.              
Program Penanggulangan Kemiskinan dan Urgensi Perda Kemiskinan
Dialog Rektor dengan DPRD Kota Lubuklinggau @Mercure Hotel-Jakarta, 22 Februari 2018
7.              
Optimalisasi Fungsi DPRD dalam Perencanaan Pembangunan Daerah
Dialog Rektor dengan DPRD Provinsi Sumatera Barat @Istana Bung Hatta-Bukittinggi, 9 Maret 2018
8.              


9.              


10.           
Langkah Strategis Pertumbuhan Ekonomi, Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dan Pengurangan Kesenjangan Individu
Dialog Rektor dengan DPRD Kota Depok @Swissbel Residence Kalibata-Jakarta, 8 Mei 2018
11.           
Kesiapan Daerah dalam Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/ Sustainable Development Goals (SDGs)
Dialog Rektor dengan DPRD Kota Cirebon @Savero Hotel-Depok, 19 Maret 2018
12.           
Mekanisme Perencanaan Pembangunan Daerah dan Sinergi Program Pusat-Daerah berdasarkan RPJMN, RPJMD, dan Renstra SKPD
Dialog Rektor dengan DPRD Kabupaten Bantaeng @Oasis Amir Hotel-Jakarta, 21 Mei 2018
13.           
Peran DPRD dalam Perencanaan dan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah
Dialog Rektor dengan DPRD Kabupaten Cianjur @Best Western Premier La Grande-Bandung, 29 Mei 2018
14.           
Peran DPRD dalam Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah
Dialog Rektor dengan DPRD Kabupaten Maluku Tenggara @Golden Tulip Pasar Baru Hotel-Jakarta, 1 Juni 2018
15.           
Optimalisasi Dewan Riset Daerah
Pemda DKI-Jakarta, 26 Juni 2018
16.           

17.           
Kerangka Kelembagaan Kemendagri dengan K/L Lainnya
FGD AUDIT ORGANISASI DAN TATA KERJA Jakarta, 10 September 2018
18.           

19.           
Administrasi Pembangunan di Indonesia: Perencanaan, Penganggaran, dan Pengawasan
Program Doktor Bidang Ilmu Sosial Universitas Pasundan Bandung, 5 Oktober 2018
20.           
Optimalisasi Otonomi Daerah: Kebijakan, Strategi dan Upaya
Program Doktor Bidang Ilmu Sosial Universitas Pasundan-Bandung, 5 Oktober 2018
21.           


22.           


23.           
Administrasi Pembangunan di Indonesia: Perencanaan, Penganggaran, dan Pengawasan
Program Doktor Bidang Ilmu Sosial Universitas Pasundan Bandung, 26 Oktober 2018
24.           
Optimalisasi Otonomi Daerah: Kebijakan, Strategi dan Upaya
Program Doktor Bidang Ilmu Sosial Universitas Pasundan-Bandung, 26 Oktober 2018
25.           


26.           


27.           


Wednesday 15 August 2018

BANGKITLAH INDONESIAKU



Tahun ini Indonesia telah memasuki 73 tahun usia kemerdekaan. Selama rentang waktu tersebut, sudahkah negeri ini bergerak menuju cita- cita besar para founding father yang menginginkan Indonesia sebagai bangsa besar, sekaligus bangkit menghadapi tantangan zaman? Inilah pertanyaan refleksional yang akan terus menyertai perjalanan negeri yang kini sudah dipadati 265 juta jiwa penduduk atau telah tumbuh empat kali lipat dibanding jumlah penduduk pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945. 

Jika melihat komposisi penduduk serta kemajuan teknologi, tantangan yang dihadapi Indonesia pada masa lalu dan masa kini, tentunya sudah sangat berbeda jauh. Perbedaan itu pula yang membuat makna kemerdekaan bangsa ini menjadi sangat penting untuk dipertegas kehadirannya.

Apalagi, sejak 2015 Indonesia sudah memasuki sistem perdagangan terbuka bernama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Semangat besar dari gagasan hadirnya MEA ini membentuk pasar tunggal dan menciptakan kondisi yang kompetitif antarnegara di kawasan Asia Tenggara. Inilah tantangan eksternal buat bangsa yang tak bisa lagi ditolak.

Selain tantangan ekonomi yang borderless di kawasan Asia Tenggara, negeri ini juga masih menghadapi tantangan domestik yang tak kalah pelik. Salah satu yang utama adalah suksesi kepemimpinan nasional. Sebagaimana diketahui bersama bahwa periode duet kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sudah mendekati pengujung masa pemerintahannya. Pekan lalu, dua pasang calon presiden dan wakil presiden baru saja mengikrarkan diri untuk bersaing menjadi pemimpin Indonesia periode 2019-2024. 

Kontestasi politik ini tentu menjadi hal yang tak bisa diabaikan untuk membawa bangsa ini bergerak menuju kebangkitannya sebagai bangsa besar sebagaimana kejayaan di masa kerajaan-kerajaan yang telah membangun peradaban nusantara. Mampukah dalam lima tahun ke depan Indonesia bisa bangkit atau justru bangsa ini akan lenyap sebagaimana ramalan dalam novel Ghost Fleet yang menyebut Indonesia menghilang pada 2030.

Sekali lagi inilah tantangan besar di saat negeri ini merayakan 73 tahun kemerdekaannya. Untuk mengurai tantangan tersebut, salah satu indikator yang dapat digunakan adalah nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sebagaimana dijelaskan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), di dalam IPM ini ada tiga dimensi dasar yang diukur, yakni kesehatan, pendidikan, serta standar hidup layak. 

Merujuk data yang dirilis BPS tahun ini, pembangunan manusia di Indonesia dinilai terus mengalami kemajuan. Pada tahun 2017, IPM Indonesia mencapai 70,81. Angka ini meningkat sebesar 0,63 poin atau tumbuh sebesar 0,90 persen dibandingkan tahun 2016. 

Kualitas Pendidikan yang Minim
Namun demikian, laporan World Bank yang dirilis pada awal tahun ini menyebutkan juga bahwa pertumbuhan ekonomi dalam satu dekade terakhir hanya menguntungkan 20 persen orang paling kaya di Indonesia saja. Artinya, kebanyakan orang Indonesia masih belum menikmati pertumbuhan ekonomi yang kerap dijadikan indikator keberhasilan pemerintah.

Fenomena semacam itu sesungguhnya bukan hal asing yang terjadi di negeri ini maupun di sejumlah negara berkembang. Berkaca pada fenomena yang ada serta merujuk pada salah satu dimensi IPM, maka faktor pendidikan menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Premis besarnya adalah ketika kualitas pendidikan diperbaiki dan ditingkatkan mutunya maka diharapkan akan terjadi perbaikan IPM sekaligus menurunkan tingkat kesenjangan di negeri ini. 

Tapi, seperti apakah gambaran kualitas pendidikan Indonesia pada saat ini? Mengutip laporan CNN Indonesia (2018), kualitas pendidikan Indonesia menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC) berada di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia ternyata masih berada di bawah Vietnam. Lalu, laporan The World Economic Forum Swedia (2000) mengungkap Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia.

Gambaran global itu tentunya menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi oleh pemimpin Indonesia ke depan. Artinya, siapapun yang kelak memimpin Indonesia, perbaikan mutu dan kualitas pendidikan harus diperjuangkan sekuat tenaga. 

Mengapa harus diperjuangkan? Karena hanya dengan pendidikan yang baik maka negeri ini akan bisa bersaing di era global yang telah bebas batas negara the state of borderless. Ketika negeri ini memiliki daya saing yang tinggi maka kemampuan untuk merespons tantangan, baik secara domestik maupun global, akan bisa dilakukan secara optimal.

Lantas bagaimanakah cara untuk mendorong tumbuhnya daya saing negeri ini? Salah satu cara yang dapat dikembangkan adalah melahirkan kurikulum pendidikan yang bersifat responsif terhadap kemajuan zaman. Mindset kurikulum yang selama ini masih digunakan sudah seharusnya dikaji ulang. Kurikulum yang hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan substansial masyarakat sudah saatnya direvisi. 

Singkatnya, untuk mengarah pada mindset baru tersebut maka diperlukan adanya sejumlah perbaikan terhadap efektivitas, efisiensi, dan standarisasi pengajaran. Para pengajar, khususnya di lembaga pendidikan tinggi, sudah seharusnya mengembangkan model pengajaran yang mampu mengadopsi kemajuan teknologi untuk merangsang tumbuhnya kreatifitas para peserta didik.

Harapannya, ujung dari perbaikan itu bisa melahirkan lulusan-lulusan yang kreatif sekaligus melek teknologi. Inilah yang menjadi kunci untuk menghadapi era disrupsi sekaligus persaingan global yang makin kompetitif di masa mendatang.

Untuk melahirkan lulusan-lulusan yang kreatif sekaligus melek teknologi itu memang bukanlah pekerjaan mudah seperti membalikkan telapak tangan. Di sini perlu dilakukan usaha dan kerja keras yang tak boleh kenal lelah. Ikhtiar itu harus terus dilakukan dengan penuh kesadaran bersama bahwa negeri ini harus bisa bangkit dari segala ketertinggalannya. 

Percayalah, ketika pendidikan negeri ini bisa melahirkan para lulusan kreatif maka akan semakin memudahkan negeri ini menghadapi persaingan secara global. Di saat daya saing semakin kuat maka di sanalah akan tumbuh kemampuan negeri ini untuk bisa bangkit di atas kakinya sendiri.

Untuk itulah, Indonesia butuh kerja secara bersama-sama untuk mewujudkan mimpi besar dari anugerah kemerdekaan ini. Tantangan domestik berupa pemilihan presiden harusnya jangan membuat negeri ini bergerak mundur akibat perbedaan pilihan politik. Seharusnya, adanya perbedaan-perbedaan itu, bisa membuat bangsa ini semakin kuat untuk menghadapi tantangan yang semakin sulit di masa depan. 

Inilah pilihan yang harusnya dilakukan jika Indonesia ingin bangkit. Kesadaran ini harusnya bisa didesiminasikan serta ditumbuhkan kepada generasi muda bangsa ini. Polemik politik domestik serta tantangan globalisasi adalah keniscayaan yang harusnya menguatkan negeri ini untuk menjadi bangsa yang kompetitif. 

Sekali lagi, inilah semangat kemerdekaan Indonesia pada usianya yang telah menginjak 73 tahun. Dan, kita masih harus bekerja bersama-sama untuk mewujudkan anugerah kemerdekaan itu demi menghadirkan Indonesi a yang dicita- citakan para pendiri negeri ini. 

Friday 1 June 2018

MEMBUMIKAN PANCASILA


Kompas, 1 Juni 2018


Tujuh puluh tiga tahun sudah kita mengakui Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Sebuah pondasi visioner yang sesungguhnya telah dipancangkan para founding fathers untuk membangun sebuah negara merdeka bernama Indonesia. 

Kini, setelah 73 tahun berlalu sejak dasar negara itu diakui kelahirannya pada 1 Juni 1945, sudahkah Pancasila menjadi bagian dari kehidupan kita dalam bernegara dan berbangsa?

Inilah pertanyaan fundamental yang layak untuk dipertanyakan ulang ketika kita semua hendak merayakan hari kelahiran Pancasila pada tahun ini. 

Namun, sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kalau kita berkaca terlebih dahulu terhadap dua permasalahan besar yang dihadapi oleh bangsa ini. Persoalan krusial yang pertama itu adalah pemberantasan korupsi. 

Berdasarkan data indeks persepsi korupsi pada 2017 yang dirilis Transparency International pada awal tahun ini menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 180 negara yang diteliti. Dari skala 0-100, Indonesia memiliki nilai indeks persepsi korupsi sebesar 37. 

Dalam skala penilaian itu dijelaskan nilai 0 mengandung arti sangat korup dan nilai 100 memiliki indeks persepsi paling bersih. Merujuk skala yang ditunjukkan Transparency International tadi, maka Indonesia tergolong sebagai negara yang masih belum serius dalam memberantas korupsi. 

Temuan Transparency International itu diperkuat juga oleh fakta yang diungkap oleh lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW). Dalam dua tahun terakhir ini memperlihatkan adanya tren peningkatan korupsi. 

Sepanjang 2017 tercatat ada 576 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 6,5 triliun dan suap Rp 211 miliar. Setahun sebelumnya, kerugian negara yang diakibatkan dari 482 kasus korupsi mencapai Rp 1,5 triliun. (Republika.co.id, 2018). 

Selain persoalan korupsi, Indonesia juga menghadapi masalah ketimpangan ekonomi. Hasil kajian World Happiness Report 2018 yang dilakukan Bank Dunia, Indonesia ditempatkan di peringkat ke-62 negara paling timpang di dunia, dengan indeks gini sebesar 0,395. 

Data ketimpangan itu makin mencolok ketika menyitir hasil riset International Forum on Indonesian Development (Infid). Riset tersebut mengungkap fakta bahwa kekayaan 1 persen penduduk di Indonesia itu setara dengan 45 kekayaan nasional. Artinya, jika populasi penduduk di Tanah Air diasumsikan mencapai 261 juta, maka penduduk terkaya itu mencapai 261.000 pada 2017. (Bisnis.com, 2018) 

Semua Buat Semua 
Dua masalah besar inilah yang tentunya sangat mengganggu rasa keadilan dan kebersamaan kita sebagai warga negara Indonesia. Bukankah Pancasila yang disampaikan Soekarno pada pidato di sidang BPUPKI 73 tahun silam itu secara tegas menyatakan bahwa, "Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. 

Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, – tetapi “semua buat semua”. Dalam menafsirkan pendapat Bung Karno itu negara seharusnya berperan sentral untuk menghadirkan kebersamaan "semua buat semua" tersebut. Dua masalah besar yang telah disajikan di awal tulisan ini, sesungguhnya telah memperlihatkan ketidakmampuan pengelola negara untuk mewujudkan mimpi besar si Bung Besar Soekarno. 

Bagaimana mungkin kita bisa menciptakan "semua buat semua" ketika uang negara yang harusnya bisa menciptakan lapangan pekerjaan atau perbaikan taraf hidup masyarakat bangsa ini ternyata disalahgunakan untuk kepentingan kelompok maupun golongan tertentu saja? 

Atau, sungguh sulit pula membayangkan terjadinya pemerataan ketika segelintir orang justru bisa mengendalikan pergerakan ekonomi di negeri ini? 

Ketika masalah dan pertanyaan kritis itu terus muncul, tentunya perlu dicarikan solusi. Rasanya juga tak perlu lagi kita harus terus bersilang pendapat terhadap dua persoalan besar bangsa ini. 

Sebagai solusinya adalah bagaimana menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila itu ke dalam kehidupan sehari-hari. Kandungan nilai praktis Pancasila seperti taat dalam menjalankan ajaran agama, toleransi, hingga menumbuhkan sikap gotong royong, harusnya dapat diejawantahkan ke dalam bentuk sikap, perilaku dan tindakan para aparatur negara maupun masyarakat secara umum. 

Lalu, ketika dua persoalan besar tadi masih saja menggejala, maka ikhtiar yang bisa dilakukannya adalah melawan dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai dari sila pertama hingga sila kelima Pancasila itu ke dalam wujud nyata. 

Mungkin saja, hal itu terdengar teoritis dan klise. Tapi, percayalah hanya dengan cara membumikan dan mengamalkan Pancasila saja kelak terwujudnya Indonesia yang tangguh dan kuat sebagaimana dicita-citakan para founding fathers negeri ini. 

Lantas, dengan masih terseraknya masalah tadi, sesungguhnya hal ini menjadi cerminan bahwa Pancasila belum terimplementasi secara sungguh-sunguh di dalam kehidupan bangsa ini. 

Selama ini, kita baru menempatkan Pancasila sebagai bentuk hafalan maupun jargon yang digunakan sebagai komoditas politik praktis saja. Meminjam istilah Bung Karno sewaktu berpidato di sidang BPUPKI, Pancasila belum menjadi philosofische grondslag sebagaimana dicita-citakannya. 

Jadi, jika ingin bangsa ini menjadi besar, hanya ada satu jalan, yakni membumikan nilai-nilai Pancasila itu ke dalam aktifitas bernegara dan berbangsa. Diskursus untuk itu rasanya sudah final dan sudah disepakati sejak lama. Sekarang ini yang dibutuhkan adalah cara mengimplementasikannya. 

Semoga momentum peringatan hari lahirnya Pancasila ini mengingatkan kita semua untuk berefleksi benarkah kita sudah sejalan dengan jargon "Saya Indonesia, Saya Pancasila"?

Wednesday 2 May 2018

PENDIDIKAN NASIONAL DAN PENGUATAN BUDAYA BANGSA

Jakarta, 2 Mei 2018


"Pendidikan dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir."

Sepenggal kalimat dari Ki Hadjar Dewantara itu rasanya perlu digaungkan kembali untuk memaknai momentum Hari Pendidikan Nasional yang selalu diperingati setiap 2 Mei. Ki Hadjar adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, sekaligus juga Bapak Pendidikan Nasional yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI No. 305 tahun 1959. Melalui kepres tersebut, hari kelahiran beliau pada 2 Mei 1889 selanjutnya dikukuhkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Lantas, apa urgensi dan yang membuatnya berbeda dari setiap kali Hari Pendidikan Nasional itu dirayakan dari tahun ke tahun? Untuk tahun ini, kiranya kita semua perlu merefleksikan satu kata kunci dari pernyataan Ki Hadjar di atas, yakni kebudayaan! Mengutip definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat, kebudayaan itu berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata Budhayah yang merupakan bentuk dari kata budhiyang berarti akal. Jadi, kebudayaan itu dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal.

Dari definisi tersebut maka terlihat sangat jelas adanya korelasi antara kebudayaan dan pendidikan. Secara sederhana, tesis yang bisa dimunculkan adalah ketika pendidikan itu diperkuat maka harusnya kebudayaan itu akan semakin baik. Lalu pertanyaan pun muncul kembali, bagaimana dengan pendidikan -- khususnya pendidikan tinggi di Indonesia -- di era teknologi digital seperti sekarang?

Tentunya, tantangan pendidikan yang dihadapi pada masa sekarang sudah berbeda jauh dengan era Ki Hadjar Dewantara. Pada masa lalu, teknologi masih belum menjadi pegangan hidup (way of life). Pada masa kini, di saat dunia global sudah memasuki era digital, teknologi tak hanya menjadi way of life namun sudah menjadi lifestyle. Tantangan pun menjadi semakin berat karena perkembangan teknologi digital dengan kemampuan artificial intelligence (AI) --yang di dalamnya mengubah data menjadi informasi-- akan membuat semua orang bisa secara mudah dan murah untuk memperoleh kebutuhan informasi.

Inilah yang harusnya disikapi oleh pelaku pendidikan, khususnya pendidikan tinggi di Indonesia. Melangkah tanpa melakukan akselerasi dengan kemajuan teknologi yang sudah berkembang pesat, rasanya menjadi sangat naif. Namun sebagaimana dinyatakan oleh pendiri Microsoft, Bill Gates, teknologi itu sesungguhnya hanyalah alat. Untuk menjadikan anak-anak bangsa bisa saling bekerjasama dan termotivasi, peran paling utamanya adalah seorang guru.

Bill Gates mafhum benar bahwa guru merupakan pondasi bagi proses mengalirnya perkembangan teknologi dan perubahan di masa mendatang. Untuk itulah, kemampuan para guru dan dosen ini perlu mendapat perhatian besar. Sayangnya, porsi tenaga pengajar di Indonesia masih terbilang rendah.

Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Muhammad Nasir pernah menjelaskan perbandingan jumlah ideal dosen dengan mahasiswa di perguruan tinggi swasta itu adalah satu banding 30 (1:30) untuk mata kuliah eksakta dan satu banding 45 (1:45) untuk sosial. Sementara itu, untuk perguruan tinggi negeri perbandingan dosen dengan mahasiswanya adalah 1:20 untuk eksakta dan 1:30 untuk ilmu sosial.

Parameter lain yang bisa dirujuk untuk melihat masih minimnya tenaga pengajar dosen yang masih rendah di negeri ini adalah para penyandang gelar doktor (S3). Di Indonesia, dari setiap satu juta penduduk hanya terdapat 143 doktor. Sementara, Malaysia memiliki rasio dari setiap satu juta penduduk terdapat 509 doktor. Selanjutnya di India, terdapat 1.410 doktor dalam setiap satu juta penduduknya.

Inilah tantangan nyata yang dihadapi oleh dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Selain belum tercapainya kondisi ideal antara dosen dan mahasiswa, Indonesia menghadapi pula tantangan perubahan dalam proses pengajaran. Ke depannya, perguruan tinggi harus mulai menerapkan sistem pengajaran hybrid. Dalam hal ini, pengelola pendidikan tinggi di Indonesia sudah seharusnya memikirkan penerapan teknologi pembelajaran atau perkuliahan secara daring yang kini dikenal sebagai Massive Open Online Courses (MOOCs).

Untuk mendorong model semacam itu, perlu pula dipikirkan pembentukan lembaga penjamin mutu terhadap perkuliahan daring. Lembaga ini dapat dibentuk antar perguruan tinggi atau dapat pula oleh pemerintah, yang bertugas memberi jaminan pada pasar kerja mengenai kemampuan lulusan untuk memenuhi keperluan lapangan kerja. Sertifkasi semacam ini diperlukan antara lain bila seorang mahasiswa sebagian besar beban akademiknya diambil dari berbagai sumber. Hingga kini, Indonesia masih terlihat gagap.

Di tengah kegagapan itu, kita juga dihadapi tantangan kepada para peserta didik kita, dalam hal ini mahasiswa. Para mahasiswa tentunya harus bisa responsif pula dalam menjawab semua perubahan ini secara positif. Artinya, perubahan tantangan zaman ini harus bisa dilakukan secara selaras dengan seluruh stakeholders di dunia pendidikan. Mahasiswa sebagaimana cikal bakal pemimpin bangsa, sudah sepatutnya bisa memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk membekali dirinya dengan pengetahuan tanpa mengabaikan kebudayaan bangsa yang berlandaskan pada Pancasila.

Inilah semangat yang harusnya dimunculkan kembali di saat negeri ini merayakan momentum Hari Pendidikan Nasional. Kita boleh saja menjadi pintar secara akal tapi kita tidak boleh melupakan nilai-nilai agung bangsa ini sebagaimana yang sudah terkandung di dalam Pancasila. Jika bangsa ini ingin maju seperti Cina, Jepang dan negara-negara Eropa lainnya, maka perkuatlah dengan ilmu pengetahuan. Tapi jika kita ingin menjadi bangsa besar di dunia maka jangan pernah tinggalkan Pancasila sambil terus memperkuat ilmu pengetahuan modern.

Tentunya, Pancasila yang dipahami itu tidak digunakan sebagai alat dagang kampanye politik praktis yang bersifat sloganistik saja. Tapi, bagaimana mengamalkan Pancasila yang sesungguhnya ke dalam dunia pendidikan menjadi sangat pentinguntuk diejawantahkan.

Saturday 21 April 2018

PELUANG DAN TANTANGAN PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0


Orasi Ilmiah Universitas Sangga Buana Bandung, 21 April 2018


Tiada yang menampik kalau laju perkembangan industri dan teknologi telah bergerak begitu pesat di dunia. Klaus Schwab, seorang ekonom asal Jerman yang juga menjadi pendiri Forum Ekonomi Dunia, menggambarkan saat ini dunia tengah memasuki revolusi industri generasi keempat (Fourth Industrial Revolution, 4IR). Dalam buku berjudul The Fourth Industrial Revolution (2017), ia menulis revolusi generasi keempat ditandai dengan munculnya superkomputer, robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi, editing genetik dan perkembangan neuroteknologi yang memungkinkan manusia untuk lebih mengoptimalkan fungsi otak. 4IR telah menemukan pola baru ketika disruptif teknologi hadir begitu cepat dan mengancam keberadaan perusahaan-perusahaan incumbent yang telah mapan. 

Pada era 4IR ini, ukuran besar perusahaan tidak menjadi jaminan. Kunci keberhasilan untuk meraih prestasi dengan cepat adalah kelincahan dan kecepatan perusahaan dalam merespons tantangan. Ini ditunjukkan oleh Uber. Aplikasi berbasis teknologi ini telah membuktikan ancamannya yang nyata kepada para pelaku industri transportasi di seluruh dunia. Contoh lainnya Airbnb yang mengancam pemain-pemain utama di industri jasa pariwisata. Sekali lagi semua itu membuktikan bahwa yang cepat dapat memangsa yang lambat, bukan yang besar memangsa yang kecil. Untuk itu, sudah sewajarnya perusahaan-perusahaan masa kini harus lebih peka dan responsif untuk melakukan instrospeksi diri. 

Lantas, apakah pergeseran itu hanya dialami pada perusahaan-perusahaan berorientasi bisnis saja? Sesungguhnya, perubahan yang didorong oleh inovasi dalam sains dan teknologi itu bisa juga terjadi di dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Negara-negara maju, yang selama ini menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah menyadari perubahan tersebut. Kondisi itu tentunya perlu disikapi juga pada sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Perubahan disruptif—menjungkirbalikkan sistem yang berlaku hingga akhirnya terjadi perubahan mendasar – tak boleh diabaikan. Artinya, perguruan tinggi pun tak lepas dari ancaman disrupted bila tidak segera melakukan perubahan dan menyesuaikan peranannya di dunia pendidikan. 

Perubahan itu tentunya tidak bisa dipisahkan dengan pergeseran perilaku masyarakat yang kian adaptif terhadap perkembangan teknologi. Untuk itu, perguruan tinggi harus bisa mengantisipasinya. Dalam hal ini bagaimana mempersiapkan langkah untuk merespons tantangan dalam memposisikan dirinya sebagai penyedia jasa layanan pendidikan tinggi. Inilah yang harusnya dipersiapkan sejak dini. 

Menghadapi Era Disruptif
Untuk merespons perubahan yang bergerak cepat tadi, perlu kiranya untuk melihat perguruan tinggi itu sebagaimana halnya suatu perusahaan. Dalam perumpamaan ini, Chris Bradley and Clayton O’Toole (2016) mengilustrasikannya ke dalam empat tahapan posisi perusahaan saat menghadapi era disruptif teknologi. 

Tahap pertama, sinyal di tengah kebisingan (Signals Amidst the Noise). Pada tahun 1990, Polygram tercatat sebagai salah satu perusahaan recording terbesar di dunia. Delapan tahun berselang, perusahaan ini dijual. Situasi itu terjadi ketika teknologi MP3 baru saja ditemukan sehingga pemilik masih merasakan puncak kejayaan Polygram pada saat itu dan memperoleh nilai (value) penjualan yang optimal. Contoh lainnya adalah industri surat kabar tradisional yang mengejar oplah dan pemasukan dari pemasangan iklan. Kemunculan internet yang mengancam dimanfaatkan oleh Schibsted, salah satu perusahaan media asal Norwegia yang menggunakan internet untuk mengantisipasi ancaman sekaligus memanfaatkan peluang bisnis. Perusahaan ini melakukan disruptif terhadap bisnis inti mereka melalui media internet yang akhirnya menjadi tulang punggung (backbone) bisnis mereka dikemudian hari. Pada tahap ini, perusahaan (incumbent) merespons perkembangan teknologi secara cepat dengan menggeser posisi nyaman dari bisnis inti yang mereka geluti dengan mengikuti tren perkembangan teknologi, preferensi konsumen, regulasi dan pergeseran lingkungan bisnis.

Tahap kedua, perubahan lingkungan bisnis tampak lebih jelas (Change Takes Hold). Pada tahap ini perubahan sudah tampak jelas, baik secara teknologi maupun dari sisi ekonomis. Namun, pada tahap ini dampaknya pada kinerja keuangan masih relatif tidak signifikan sehingga belum dapat disimpulkan apakah model bisnis baru akan lebih menguntungkan atau sebaliknya dalam jangka panjang. Tetapi dampak yang belum signifikan ini ditanggapi secara serius oleh Netflix pada tahun 2011 ketika menganibalisasi bisnis inti mereka yakni menggeser fokus bisnis dari penyewaan DVD menjadi streaming. Ini merupakan keputusan besar yang berhasil menjaga keberlangsungan perusahaan dikemudian hari sehingga tidak mengikuti kebangkrutan pesaingnya, Blockbuster.

Tahap ketiga, transformasi yang tak terelakkan (the Inevitable Transformation). Pada tahap ini, model bisnis baru sudah teruji dan terbukti lebih baik dari model bisnis yang lama. Oleh sebab itu, perusahaan incumbent akan mengakselerasi transformasi menuju model bisnis baru. Namun demikian, transformasi pada tahap ini akan lebih berat mengingat perusahaan incumbent relatif sudah besar dan gemuk sehingga tidak selincah dan seadaptif dibanding perusahaan-perusahaan pendatang baru (startup company) yang hadir dengan model bisnis baru. Pada tahap ini, perusahaan sudah tertekan pada sisi kinerja keuangan sehingga akan menekan budget, bahkan mengurangi beberapa aktivitas bisnis dan fokus hanya pada inti bisnis perusahaan incumbent.

Tahap keempat, adaptasi pada keseimbangan baru (Adapting to the New Normal). Pada tahapan ini, perusahaan incumbent sudah tidak memiliki pilihan lain selain menerima dan menyesuaikan pada keseimbangan baru. Pilihan itu harus diambil karena fundamental industri telah berubah dan perusahaan incumbent tidak lagi menjadi pemain yang dominan. Perusahaan incumbent hanya dapat berupaya untuk tetap bertahan di tengah derasnya terpaan kompetisi. Pada tahap ini para pengambil keputusan di perusahaan incumbent harus jeli dalam mengambil keputusan seperti halnya Kodak yang keluar lebih cepat dari industri fotografi sehingga tidak mengalami keterperosokan yang semakin dalam. 

Proyeksi Jangka Panjang
Berdasarkan pada ilustrasi tadi maka perguruan tinggi harusnya bisa secara dini dapat mengindentifikasi tantangan yang akan mereka hadapi di masa mendatang. Setidaknya diperlukan proyeksi jangka panjang, 15-30 tahun ke depan untuk mencermati perubahan perilaku masyarakat. Bersama masyarakat, perguruan tinggi harusnya mampu mengatasi bermacam tantangan yang timbul. Salah satunya terkait dengan laju pertumbuhan penduduk. Dalam hal ini bagaimana perguruan tinggi bisa merespons tantangan pemerataan kesempatan belajar ketika negeri ini memiliki barrier secara geografis maupun strata sosial yang masih sangat timpang. 

Tantangan berikutnya bagaimana perguruan tinggi berperan aktif dalam memecahkan berbagai permasalahan nasional. Tantangan ini menjadi berat ketika perkembangan teknologi digital dengan artificial intelligence (AI)-nya yang telah mengubah data menjadi informasi. Situasi ini membuat orang bisa dengan mudah dan murah memperoleh kebutuhan informasi. Perubahan ini tentunya berpengaruh pada tata kerja perguruan tinggi sebagai salah satu sumber informasi yang harus menyesuaikan diri dan menarik manfaat dari kemudahan-kemudahan tersebut. Termasuk di dalamnya perubahan dalam tata cara belajar dan mengajar. 

Dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan tersebut, perguruan tinggi terus tertantang untuk tetap menjalankan berbagai perannya, yaitu pendidikan dan pengajaran, pengembangan, serta diseminasi, sebagai lumbung khasanah ilmu bagi masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, setidaknya ada tiga hal penting yang perlu direspons. Pertama, perguruan tinggi harus mulai menerapkan system pengajaran hybrid. Di sini, perguruan tinggi harus dapat merespons perkembangan peran teknologi. Dalam hal ini harusnya mulai dipikirkan penerapan teknologi pembelajaran atau perkuliahan secara daring yang kini dikenal sebagai Massive Open Online Courses (MOOCs). Namun cara pembelajaran dan perkuliahan seperti ini seperti masih belum bisa diterapkan secara luas pada mata pelajaran yang memerlukan pelatihan keterampilan yang bergantung pada peralatan dalam laboratorium atau yang memerlukan komunikasi dekat dengan dosen atau pembimbing perkuliahan tingkat tinggi dan pascasarjana yang diikuti oleh sedikit mahasiswa. 

Kedua, perlu dipikirkan pembentukan lembaga penjamin mutu perkuliahan daring. Lembaga ini dapat dibentuk antarperguruan tinggi atau dapat pula oleh pemerintah, yang bertugas memberi jaminan pada pasar kerja mengenai kemampuan lulusan untuk memenuhi keperluan lapangan kerja. Sertifkasi semacam ini diperlukan antara lain bila seorang mahasiswa sebagian besar beban akademiknya diambil dari berbagai sumber. Ketiga, menyelenggarakan diseminasi ilmu secara daring. Dalam diseminasi, jenis pengetahuan yang disampaikan sangat berbeda dengan suatu perkuliahan. Dalam hal ini, materi yang disiapkan untuk membentuk mahasiswa dengan membekali mereka pengetahuan tentang hal-hal praktis yang dihadapinya.

Selain mahasiswa, dosen pun perlu mendapat perhatian besar. Untuk mendorong terjadinya perubahan pada seorang dosen, maka perlu dilakukan dua hal. Yakni, kurangi beban dosen namun mereka harus didorong mengikuti pelatihan tentang metode pengajaran mutakhir. Harus diakui, sejauh ini masih banyak dosen yang hanya membaca catatan dan/atau buku di kelas, terlebih di perguruan daerah. Tentunya hal ini tidak menguntungkan dalam percaturan internasional. Hal lainnya bagaimana mendorong dosen itu harus memiliki multitalenta. Menghadapi perubahan yang bersifat disruptif ini, dosen harus memiliki lebih dari satu bidang pengetahuan —teoretis dan praktis— sebagaimana yang dimaksud dengan kemampuan/ keterampilan. Dosen/pengajar masa depan harus menguasai berbagai bidang dan topik atau isu secara multi-, inter-, hingga transdisiplin. Untuk itu dosen, seperti halnya profesi lain, harus diberi waktu, seperti menjalankan sabbatical leave, supaya dapat terus mengikuti perkembangan agar mampu melaksanakan proses belajarmengajar sesuai dengan perkembangan zaman.

Tantangan penting dari perguruan tinggi adalah menghasilkan penelitian. Kegiatan penelitian ini merupakan hal yang sangat penting di perguruan tinggi, terutama untuk perguruan tinggi riset. Penelitian harus bersifat dinamis dan harus senantiasa dapat beradaptasi dengan semua perubahan, termasuk pola pendidikan yang trans-, inter-, dan multidisiplin, kemampuan bekerja sama serta pemanfaatan data dalam jumlah yang sangat besar (big data). Perubahan dan disrupsi dalam bidang pendidikan baik secara langsung ataupun tidak langsung juga merupakan hasil dari proses penelitian.

Lima Nilai Dasar
Selain menyiapkan langkah-langkah responsif untuk menjawab tantangan, perguruan tinggi harus menanamkan lima nilai dasar untuk membekali mahasiswa unggul dalam menghadapi perubahan, yaitu resilience, adaptivity, integrity, competency, dan continuous improvement. 

Daya tahan, resilience, ini dibutuhkan di tengah ketidakpastian, iklim persaingan, dan berbagai guncangan perekonomian, benturan kebudayaan, serta adanya disruptive innovation. Di sini, seorang mahasiswa harus memiliki kemampuan untuk bertahan hidup, survival, tidak mudah menyerah dan frustrasi menghadapi berbagai keadaan. 

Berikutnya, adaptivity yang mendorong mahasiswa untuk mampu melakukan adaptasi atau menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik di level domestik maupun internasional. 

Sedangkan integrity, mahasiswa harus memegang teguh integritas pribadi dan profesional, seperti kejujuran, toleransi, gotong-royong, tolong-menolong, mematuhi kaidah ilmiah, dan profesional. Kebijakan memberikan sanksi yang tegas untuk setiap pelanggaran aturan dan penegakan hukum dengan tegas akan menjadikan mahasiswa menjadi pribadi berintegritas. 

Lalu, competency, di mana mahasiswa harus memiliki kompetensi dan kualifkasi dalam bidang yang digeluti serta mampu memahami perkembangan bidang lain sehingga tidak berpandangan sempit. Kebijakan memberikan keleluasaan/mewajibkan mahasiswa mengambil mata kuliah di bidang lain merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kompetensi bidang dan pengetahuan lintas bidang. 

Sementara, continuous improvement lebih menyiapkan mahasiswa untuk menjadi pembelajar sejati supaya terus melakukan perbaikan dalam bidang yang ditekuninya.

Proses Seleksi Alam 
Untuk mengakhiri orasi ini, ijinkan saya untuk menyampaikan sepenggal kalimat dari Rhenald Kasali (2017): “Suka atau tak suka, selalu ada pemenang dan pecundang dalam proses seleksi alam.  Proses seleksi alam selalu menyisakan suatu kepedihan, yaitu penderitaan bukan kepada yang lemah, melainkan kepada yang kurang bisa memenuhi tuntuan zaman. Mereka yang kuat dan bermodal besarpun bisa tersingkir dari seleksi alam karena ketakderdayaan alamiah, terlena, salah membaca, salah bergerak, atau terlambat merespons.”