Friday 28 October 2016

MENGGUGAT NASIONALISME KAUM MUDA



Republika, 28 Oktober 2016
Tidak ada yang bisa menyangsikan betapa besarnya peran pemuda dalam perjalanan bangsa ini. Pemuda selalu tampil dan memainkan peran vital, dari proses prakemerdekaan, kemerdekaan, munculnya Orde Baru, hingga lahirnya Reformasi. Sejarah telah mencatat, kaum muda selalu menjadi garda terdepan dalam setiap babakan perubahan di negeri ini.
Tidak terasa juga, salah satu tonggak sejarah yang pernah ditorehkan kaum muda di negeri ini ternyata sudah berlalu 88 tahun. Tonggak itu kita kenal sebagai peristiwa Sumpah Pemuda.

Inilah ikrar yang digaungkan kaum muda untuk menampilkan identitas kebangsaan yang satu bernama Indonesia. Kita kemudian mengenalnya dalam rumusan Tanah Air Indonesia, Bangsa Indonesia, dan Bahasa Indonesia. Inilah semangat dari nasionalisme dan kebangsaan kaum muda dalam melahirkan bangsa yang besar bernama Indonesia.
Lalu, mengapa perlu mencantumkan kata 'besar' pada negara Indonesia? Sepatutnya negeri ini untuk masuk ke dalam kelompok negara besar. Setidaknya rujukan itu dapat berkaca pada populasi penduduk.

Hingga pertengahan tahun ini, populasi penduduk Indonesia ditaksir telah mencapai 258 juta jiwa. Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai negara berpenduduk terpadat nomor empat di dunia.

Dari total populasi itu, merujuk data dari laman cia.gov, median age dari penduduk Indonesia ini berusia 29,9 tahun. Artinya, inilah cerminan rata-rata usia penduduk Indonesia pada masa sekarang.

Lantas, jika menengok struktur usia, sekitar 59 persen dari total penduduk Indonesia adalah berusia 15-54 tahun. Kelompok usia ini merupakan usia produktif, yang tentunya menyimpan semangat muda untuk membawa negeri ini menjadi lebih baik ke depan.
Di balik potensi populasi tadi, ternyata kaum muda masa kini dihadapkan pada tantangan yang berbeda dengan para pemuda masa lalu. Masa kini, tantangan terbesar kaum muda adalah globalization borderless, globalisasi tanpa batas negara.

Ancaman terbesar dari hadirnya globalisasi tanpa batas ini terdapat pada sektor ekonomi dan informasi. Inilah yang sepatutnya menjadi bahan refleksi untuk mempertanyakan, sejauh manakah kaum muda Indonesia mampu merespons tantangan zaman tersebut?
Ketika ekonomi dan informasi sudah tak lagi tersekat dalam batas-batas teritorial bernama negara. Di sanalah muncul ancaman terbesar bagi kaum muda, yang menjadi mayoritas penduduk di negeri ini.

Apakah kaum muda Indonesia masih bersemangat, menjaga nasionalisme agar tak luntur saat arus informasi luar kian menderas dan produk impor semakin tak terbendung?
Dalam memaknai nasionalisme, tentunya kita tak bisa lagi menerjemahkan secara sempit atau hanya menduplikasi semangat kaum muda pada 88 tahun silam. Seiring terkikisnya sekatan ekonomi dan informasi antarnegara tadi, di sinilah urgensi untuk memaknai nilai nasionalisme itu menjadi semakin luas.
Nasionalisme pada masa kini, sepatutnya dipandang bagaimana kaum muda negeri ini bisa berjiwa kreatif, mandiri, dan berwirausaha.

Inilah tantangan terbesar untuk menciptakan kaum muda yang kompetitif di tengah era global seperti sekarang. Untuk melakukannya, kaum muda harus memiliki kesiapan yang baik. Kesiapan tersebut tentu harus berlandaskan pada aspek keilmuan, keterampilan, dan kepercayaan diri.

Pada aspek keilmuan, bangsa ini sepertinya masih harus bekerja lebih keras untuk memperbaiki kualitas pendidikannya. Setidaknya, berdasarkan survei United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2015, Indonesia sempat dilaporkan menempati posisi terendah terhadap kualitas pendidikan di negara-negara berkembang di Asia-Pasifik.

Tepatnya berada pada peringkat 10 dari 14 negara. Persoalan ini masih menjadi PR besar bagi para pendidik ataupun institusi pendidikan, untuk menciptakan pendidikan berkualitas di negeri ini.

Dalam hal keterampilan dan kepercayaan diri, penulis menilai upaya mengasah kemampuan ini bisa melihat pada model pendidikan, yang dikemas di unit kegiatan Resimen Mahasiswa (Menwa). Melalui semboyan Widya Çastrena Dharma Siddha, para pemuda --dalam hal ini mahasiswa-- ditempa untuk menyempurnakan pengabdian diri melalui ilmu pengetahuan dan ilmu keprajuritan.

Ilmu keprajuritan di sini sangat berkaitan erat dengan jiwa keperwiraan, kesatriaan, serta kepemimpinan. Inilah yang menjadi modal berharga untuk menghadapi persaingan global pada masa kini.

Ketika tuntutan menguasai ekonomi dan informasi menjadi hal mutlak, sudah sepatutnya mendorong kaum muda untuk merebutnya, bukan mengacuhkannya. Tentu saja, usaha tersebut harus ditanamkan melalui upaya menuntut ilmu.

Tesisnya, dengan semakin berilmu, bakal meningkat juga daya saing sumber daya manusia. Tak boleh dilupakan juga, semua pihak beserta pemerintah harus terus mendorong kaum muda negeri ini, untuk dapat menumbuhkan jiwa-jiwa kreatif entrepreneur.

Saat kaum muda itu kreatif, berwawasan keilmuan, serta berjiwa pemimpin, hal itulah yang dibutuhkan dalam jawaban tantangan ekonomi dan informasi, yang sudah tak lagi mengenal batas negara. Di sanalah nasionalisme itu terselip dalam jiwa muda yang selalu bergolak.
Lantas, sudahkah generasi muda masa kini menyimpan semangat nasionalisme semacam itu untuk menjawab tantangan zaman?