Belum lama ini, kita semua digaduhkan oleh idiom pribumi yang disampaikan dalam pidato perdana Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Pandangan masyarakat menjadi terbelah, ada yang pro dan ada yang kontra. Dalam iklim demokrasi, hadirnya pro dan kontra itu sesungguhnya merupakan hal yang lazim terjadi.
Semua perbedaan pandangan itu sepatutnya dapat dilihat sebagai sebuah dinamika dari kehidupan berdemokrasi. Bukan sebaliknya, perbedaan cara pandang dalam memaknai kata pribumi itu justru terus digoreng sebagai komoditas politik yang bertujuan destruktif.
Tanpa hendak mempersoalkan lebih jauh soal kata pribumi tersebut, kita harusnya bisa berkaca pada sebuah sejarah besar bangsa ini. Marilah kita mengingat kembali bagaimana kaum-kaum muda terpelajar pada 1928 mampu mengikrarkan dirinya sebagai satu tanah air, bangsa dan bahasa bernama Indonesia. Sejarah pun mencatat, ikrar itu sebagai Sumpah Pemuda yang selalu kita peringati setiap 28 Oktober. Sebagai penggagas Kongres Pemuda pada saat itu adalah Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, termasuk di dalamnya pemuda-pemudi dari Jong Java, Jong Soematranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Pemoeda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon, dan Pemoeda Kaoem Betawi.
Lahirnya peristiwa Sumpah Pemuda itu sesungguhnya menegaskan bahwa keragaman perbedaan yang dimiliki bangsa ini justru mampu dijadikan sebagai perekat untuk melawan penjajah. Sebagai bangsa yang dianugerahi dengan kekayaan 1.340 suku bangsa (BPS, 2010), perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan. Filosofi itulah yang kemudian kita kenal sebagai Bhinneka Tunggal Ika.
Penyebab Perbedaan
Namun harus diakui untuk menerima perbedaan itu bukanlah hal mudah. Selepas Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan berlanjut pada Pilkada DKI Jakarta, polarisasi pandangan dan sikap dalam kehidupan bermasyarakat di negeri ini menjadi semakin tampak garis demarkasinya antara pihak pro dan kontra. Melihat kondisi yang ada sekarang maka sesungguhnya kita tengah bergerak mundur, jauh melebihi 89 tahun silam yang menjadi salah satu tonggak sejarah bersatunya rakyat atas nama Indonesia yang diwujudkan dalam Sumpah Pemuda.
Lantas pertanyaan pun mengemuka, mengapa polarisasi perbedaan-perbedaan ini menjadi begitu mudah meruncing pada masa kini? Dari sekian banyak faktor, penulis meyakini ketimpangan pendidikan di negeri ini menjadi salah satu penyebab utama, selain juga faktor ketimpangan ekonomi.
Mengutip hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) 2012 diungkapkan bahwa budaya literasi Indonesia ternyata masih tertinggal untuk kawasan Asia Tenggara. Posisi Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan negeri jiran seperti Singapura dan Malaysia. Rendahnya budaya literasi ini diperkuat dengan temuan Pusat Data dan Statistik Kemendikbud 2015 yang mengungkap angka buta huruf Indonesia mencapai 5.984.075 orang.
Rendahnya kemampuan literasi itu pada ujungnya berdampak pula pada kualitas pendidikan negeri ini. Mengutip artikel dari laman Deutsche Welle (Februari, 2017) diperlihatkan bahwa secara umum kualitas pendidikan Indonesia masih berada di bawah Palestina, Samoa dan Mongolia. Hanya sebanyak 44 persen penduduk Indonesia yang menuntaskan pendidikan menengah. Sementara, 11 persen murid gagal menuntaskan pendidikan alias keluar dari sekolah.
Data Kemristekdikti juga mengungkapkan pada 2016 jumlah mahasiswa di Indonesia yang terdata hanya ada sekitar 5,3 juta jiwa. Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-30 tahun, angka partisipasi kasar (APK) itu baru ada sekitar 23 persen saja. Idealnya, untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia unggul (SDM), APK harus sebesar 30 persen atau jumlah mahasiswa idealnya adalah sebanyak 6,9 juta jiwa. (Cahyono, 2016).
Inilah tantangan besar sekaligus potret suram yang dimiliki oleh bangsa yang telah mereguk kemerdekaannya selama 72 tahun. Ketika kualitas pendidikan dan budaya literasi masyarakatnya masih sangat rendah maka adanya perbedaan-perbedaan itu akan menjadi sangat rentan untuk menimbulkan gesekan yang kelak dapat berujung pada lahirnya konflik horisontal. Tentunya, hal semacam itu sangat tidak kita harapkan terjadi di negeri yang kita cintai ini.
Tanggung jawab Kaum Terpelajar
Lalu apa saja yang bisa diperbuat untuk mengantisipasi kemungkinan buruk tersebut? Bukankah tahun depan akan menjadi tahun yang berat buat masyarakat yang tengah berada dalam polarisasi kepentingan? Penulis yakin tahun 2018 dipastikan akan semakin banyak lagi intrik-intrik politik yang lebih menghebohkan jelang Pilpres 2019. Boleh jadi, dikotomi yang mengusik persatuan negeri ini tak hanya persoalan seperti kata pribumi atau penegasan Saya Indonesia atau Saya Pancasila saja.
Di sinilah tanggung jawab dari kelompok terpelajar. Walau secara populasi jumlah mereka tak banyak namun sejarah selalu mencatat bahwa perubahan besar itu justru selalu digerakkan oleh kelompok menengah yang terpelajar. Bukti itu sudah berwujud nyata ketika kaum terpelajar di negeri ini menyatukan tekadnya dalam ikrar Sumpah Pemuda pada 1928. Di saat potensi gesekan akan terus meningkat di hari-hari mendatang maka kaum terpelajar harusnya bisa menempatkan dirinya sebagai kelompok yang mampu merekatkan.
Dalam upaya merekatkan kesatuan tersebut, sikap kritis tentunya harus tetap dijaga. Tanpa adanya kritik maka di sanalah kemunduran besar buat demokrasi. Namun demikian, kritik-kritik yang dilahirkan itu muaranya harus tetap konstruktif sebagai bentuk tanggung jawab intelektual dalam mengawal pemerintahan ini menuju jalan yang terbaik. Sebaliknya, ketika para kaum terpelajar ini menyampaikan kritik maka pemerintah jangan melihatnya sebagai sebuah bentuk kebencian, melainkan harus menyikapinya sebagai sebuah penyemangat untuk membantu roda pemerintah berjalan lebih baik.
Maka sudah sewajarnya kalau momentum Sumpah Pemuda ini menjadi pelecut langkah bagi para kaum terpelajar di negeri ini untuk lebih menempatkan dirinya sebagai perekat kesatuan bangsa Indonesia melalui pemikiran, gagasan, dan tindakan nyata. Marilah kita semaikan darma untuk mengabdikan diri pada masyarakat dengan lebih banyak lagi mengaktualisasikan riset yang dapat memberi kemaslahatan masyarakat.
Sekaranglah waktunya para kaum terpelajar untuk berbuat nyata karena tantangan di masa mendatang di negeri ini akan semakin besar. Rasanya akan menjadi dosa besar jika para kaum terpelajar tak mampu menyemaikan kebaikan yang dapat merekatkan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang maju di kemudian hari. (*)
No comments:
Post a Comment