Saturday, 19 August 2017

INDONESIA KERJA BERSAMA


Indopos, 19 Agustus 2017


Tak terasa, negeri ini telah melewati perjalanan 72 tahun kemerdekaannya. Sepatutnya,  rentang waktu ini sudah cukup untuk mengantarkan negeri ini menjadi lebih baik. Tapi benarkah negeri ini sudah benar-benar menjadi lebih baik sebagaimana dicita-citakan para founding parent negeri ini?.

Sesungguhnya, pertanyaan kontemplatif semacam ini selalu saja berulang setiap kali Indonesia merayakan hari kemerdekaannya. Sayangnya, hingga 72 tahun perjalanan negeri ini merdeka, pertanyaan semacam itu selalu saja layak untuk disampaikan. Khusus perayaan kemerdekaan tahun ini yang mengusung tema besar "Indonesia Kerja Bersama" rasanya pantas untuk mempertanyakan perihal kebersamaan dan kerukunan yang ada di negeri berpopulasi 250 juta jiwa lebih ini.

Dalam realitas sosial masyarakat perkotaan, kebersamaan menjadi kata yang terasa asing untuk diimplementasikan dalam keseharian pada masa kini. Fenomena yang muncul dari penduduk perkotaan adanya indikasi kebanggaan dengan identitas kehidupan individualisme ala Barat. Nilai-nilai luhur kebersamaan yang tercermin melalui semangat gotong-royong menjadi hal yang terasa langka.

Kelangkaan nilai itu menjadi semakin kuat ketika kita hidup di lingkungan perumahan elite di kota-kota besar seperti Jakarta. Fakta yang kerap ditemukan adalah cukup banyak di antara para warga penghuni perumahan-perumahan elite itu yang hidup berdampingan tanpa pernah mengenal para tetangganya. Semuanya sudah dianggap sebagai kelaziman bagi masyarakat kota. Inilah tanda yang nyata atas terjadinya degradasi kebersamaan yang tengah menggerus identitas ke-Indonesia-an, khususnya di masyarakat perkotaan pada masa kini. Mengapa kebersamaan itu disebut sebagai identitas Indonesia? Jika menengok pada sila kelima di dalam Pancasila, sesungguhnya sudah ditegaskan bahwa bangsa ini tumbuh atas dasar kebersamaan dan gotong-royong.

Lalu dalam skala yang lebih luas lagi, ancaman nilai kebersamaan ini dapat pula dilihat dari munculnya kesenjangan ekonomi yang begitu besar di negeri ini. Berdasarkan laporan Global Wealth Report pada 2016 yang dibuat oleh Credit Suisse’s, Indonesia tercatat sebagai negara peringkat keempat paling timpang di dunia. Dari data tersebut memperlihatkan bahwa 1 persen orang terkaya di Indonesia itu menguasai 49,3 persen kekayaan nasional.

Adanya ketimpangan ekonomi ini sesungguhnya menjadi masalah sangat serius untuk bisa membangun tumbuhnya kebersamaan di antara anak bangsa. Bagaimana mungkin kebersamaan itu akan bisa tumbuh jika penguasaan ekonomi negeri ini ternyata hanya dikuasai oleh segelintir orang saja? Pertanyaan pun mengemuka, mungkinkah keadilan bisa tercipta ketika ketimpangan itu semakin besar? Pesimisme semacam ini tentunya sangat berbahaya jika tidak bisa dikelola secara baik.

Dan sesungguhnya, sinyal-sinyal semakin merapuhnya semangat kebersamaan akibat dari tingginya kesenjangan ekonomi ini sudah mulai tampak dalam beberapa waktu belakangan ini. Sentimen-sentimen rasial dan kesukuan yang mengarah pada dikotomi-dikotomi yang mengancam integrasi kehidupan berbangsa seakan menjadi isu yang paling mudah untuk diproduksi dalam merespons kesenjangan tersebut. Sentimen-sentimen rasial dan kesukuan itu kemudian semakin meluas setelah direproduksi secara masif lewat media sosial. Dikotomi semacam anti-Cina atau pribumi versus non pribumi menjadi santapan paling bombastis untuk melemahkan kebersamaan di antara anak bangsa.

Inilah bentuk kemunduran kehidupan berbangsa yang semakin hari semakin jelas terlihat di depan kita. Padahal jika membuka lembaran sejarah, keberagaman yang kemudian dibungkus menjadi slogan Bhineka Tunggal Ika itu, sesungguhnya menjadi salah satu pilar utama berdirinya Indonesia 72 tahun silam.

Merawat Kebersamaan
Lantas di tengah ancaman untuk menggerogoti semangat kebersamaan antaranak bangsa di negeri ini maka sudah sewajarnya pemerintah dan masyarakat mengambil peran lebih nyata dalam menumbuhkan dan merawat kebersamaan. Sebagai pengelola negara, pemerintah sudah seharusnya mampu mendorong terciptanya pemerataan ekonomi. Ini menjadi hal yang wajib dilakukan jika ingin merawat kebersamaan itu tetap lestari di negeri ini.

Sentralisasi pembangunan yang selama ini masih berorientasi pada konsep pembangunan Jawa sentris sudah seharusnya diselaraskan dengan semangat otonomi daerah. Untuk hal ini, regulasi-regulasi di daerah maupun pusat yang selama ini masih menghambat proses implementasi paket kebijakan ekonomi sudah seharusnya segera diinventarisasi dan dicarikan solusinya. Untuk pemerataan pembangunan tentunya tak lagi tepat jika hanya sekedar memunculkan wacana untuk memindahkan ibu kota ke luar Jakarta.

Namun hal yang lebih utama adalah bagaimana dana dari pemerintah itu bisa melahirkan pemerataan pembangunan infrastruktur di daerah. Inilah yang menjadi kata kunci untuk dapat menstimulasi dan menggeliatkan aktifitas bisnis di daerah. Asumsinya ketika geliat bisnis di daerah itu semakin membaik maka daya pikat orang untuk tidak menuju Jakarta akan semakin berkurang.

Apabila hal semacam ini bisa diwujudkan maka di sanalah bentuk nyata dalam mendefenisikan sila kelima Pancasila 'Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia' dalam konteks kekinian. Artinya, untuk mengimplementasikan Pancasila pada masa kini sangat diperlukan kearifan pemahaman yang bersifat kontekstual dan kekinian.

Pancasila sudah saatnya untuk tidak lagi ditempatkan sebagai doktrin tanpa implementasi. Begitu juga, sudah sepatutnya untuk tidak membungkus jargon-jargon Pancasila itu sebagai alat politik jangka pendek saja. Pancasila sebagai way of life bangsa ini sudah sepatutnya ditempatkan sebagai landasan untuk menjawab tantangan zaman yang semakin berubah.

Penulis sangat percaya jika nilai-nilai yang terkandung di dalam butir sila kelima Pancasila yang kemudian dikontekstualkan dengan zaman serta diperkuat dengan adanya kesungguhan dari semua elemen bangsa untuk mengimplementasikannya ke dalam kehidupan bernegara dan berbangsa maka di sanalah kita dapat merawat kebersamaan untuk membawa Indonesia menjadi lebih maju. Sudah siapkah kita untuk memulai perubahan cara pandang dan sikap itu di saat Indonesia sudah menginjak usia 72 tahun merdeka?. (*)

No comments:

Post a Comment