Apa yang bisa kita lakukan untuk membela negara? Inilah pertanyaan sederhana yang mengandung banyak sekali jawaban. Dalam konteks ini, aksi bela negara yang sering luput dari perhatian publik adalah bagaimana melindungi seluruh anak negeri ini dari ancaman peredaran obat-obatan dan makanan berbahaya yang begitu mudah diakses di ruang-ruang publik dengan harga terjangkau.
Terungkapnya penyalahgunaan Paracetamol Caffein Carisoprodol (PCC) di kalangan generasi muda belum lama ini menjadi ancaman yang sebenarnya tidak boleh dianggap remeh. Bahkan, penggerebekan tempat produksi skala besar obat-obatan terlarang, termasuk di dalamnya pil PCC di Semarang dan Solo, Jawa Tengah, oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) bersama kepolisian awal Desember lalu, menjadi warning bahwa ancaman ini boleh jadi sebagai salah satu bentuk proxy war dari pihak-pihak yang ingin menghancurkan generasi masa depan bangsa ini. Inilah aksi bela negara dalam bentuk nyata yang seharusnya digencarkan oleh pemerintah untuk menyadarkan masyarakat bahwa ancaman ini berada di sekitar kita tanpa pernah disadari.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Agustus lalu, sebenarnya baru saja mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Dalam Perpres tersebut, ada terobosan yang dilakukan Presiden dengan memberikan penambahan peran dari BPOM, yakni dengan menghadirkan deputi penindakan ke dalam organisasinya.
Inilah kesadaran baru dari pemerintah untuk memperkuat BPOM yang selama ini dinilai banyak pihak sebagai lembaga yang sangat strategis namun perlu dioptimalkan, karena hanya bisa mengawasi tanpa pernah bisa bertindak.
Dalam konteks ini, Presiden menyadari bahwa perlindungan warga negara dalam mengakses makanan dan obat-obatan yang aman menjadi hal penting untuk dilakukan. Di Amerika, lembaga semacam Food and Drug Administration (FDA) menjadi lembaga yang sama ditakuti seperti halnya Central Intelligence Agency (CIA) maupun Federal Bureau of Investigation (FBI).
Selaras Nawacita
Penulis melihat, kesadaran untuk memperkuat BPOM ini sebenarnya selaras dengan amanat Nawacita kelima dan keenam, yakni meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia dan meningkatkan daya saing rakyat. Dengan memproteksi masyarakat terhadap potensi atau ancaman peredaran makanan dan obat-obatan berbahaya maka di sanalah pemerintah telah menjalankan perannya. Namun, dalam menjalankan peran tersebut, tentu saja tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah, dalam hal ini BPOM yang memiliki otoritas penuh.
Kesadaran warga untuk mengonsumsi makanan dan obat-obatan yang aman harus terus diedukasikan. Di sisi lain, BPOM seharusnya juga semakin proaktif. Hadirnya unit baru, yakni deputi penindakan, harus segera direspons secara sigap. Implikasi dari hadirnya Perpres No 80 Tahun 2017 ini akan sangat berpengaruh besar terhadap ruang kerja BPOM yang selama ini hanya diberikan kewenangan untuk mengawasi.
Untuk menjawab tantangan baru ini, BPOM setidaknya bisa melakukan pendekatan dynamic governance yang dikembangkan oleh Prof Neo Boon Siong dari Singapura. Dalam pendekatan ini, ada tiga hal yang dapat dilakukan secara dinamis. Pendekatan pertama adalah thinking ahead.
Dalam hal ini, pemerintah terutama BPOM, didorong untuk segera mengidentifikasi faktor lingkungan berpengaruh, memahami dampaknya terhadap sosial-ekonomi, mengidentifikasi pilihan-pilihan yang memungkinkan masyarakat memanfaatkan kesempatan baru, serta menghindari potensi ancaman yang dapat menghambat kemajuan masyarakat.
Secara sederhana, pendekatan ini mendorong BPOM untuk menilai dan meninjau kembali kebijakan dan strategi serta menyusun konsep baru kebijakan yang dipersiapkan untuk menyongsong masa depan.
Pendekatan kedua adalah thinking again. Penekanan dari pendekatan ini adalah terus mengkaji semua kebijakan yang sedang berjalan. Adapun pendekatan ketiga adalah thinking across, yakni kemampuan untuk mengadopsi pikiran, pendapat, ide-ide lain di luar kerangka berpikir (mindset). Artinya, BPOM didorong untuk membuat benchmark dengan cara belajar dari badan sejenis yang ada di kawasan Asia ataupun Amerika. Dari ketiga pendekatan tersebut, ada sebuah benang merah yang harus dilakukan, yakni riset!
Inilah yang selama ini kerap menjadi titik lemah kita semua dalam menerjemahkan dan mengimplementasikan kebijakan baru. Riset ini menjadi langkah penting dalam merespons keinginan Presiden Jokowi yang telah memperlihatkan kesungguhannya untuk melindungi warga negara dari ancaman bahaya yang selama ini masih diremehkan banyak pihak.
Untuk menjalankan riset ini, BPOM dengan segala kewenangannya seharusnya bisa melakukan koordinasi dengan institusi perguruan tinggi di daerah. Dalam tahap awal, riset-riset tersebut bisa dilakukan dengan menggandeng sejumlah perguruan tinggi negeri yang tersebar di daerah.
Pemilihan perguruan tinggi negeri ini didasari karena institusi tersebut diasumsikan masih menggunakan anggaran negara untuk menjalankan operasional pendidikannya. Dengan melibatkan dan sinergi sesama "institusi pelat merah" ini diharapkan akan lebih menghemat anggaran riset yang pastinya tidak akan sedikit jumlahnya. Namun, kesadaran paling utama yang harus dibangun adalah sinergi ini menjadi bentuk nyata dari aksi bela negara.
Secara umum, bela negara ini dapat diartikan sebagai konsep yang disusun oleh negara serta dilengkapi perangkat perundangan untuk membangkitkan patriotisme individu, kelompok, dan seluruh komponen untuk kepentingan mempertahankan eksistensi negara.
Lantas, output dari riset yang dilakukan itu selanjutnya dijadikan dasar pijakan untuk lebih memperkuat institusi BPOM, terutama untuk menjalankan unit penindakan yang baru saja disahkan oleh Presiden Jokowi. Penulis percaya, dengan semakin kuat dan luas kewenangan yang diberikan kepada BPOM maka di sanalah pemerintah telah menjalankan tanggung jawab secara maksimal untuk menjaga warga negaranya dari ancaman makanan dan obat-obatan yang mengandung bahaya.
Perlu diingat bahwa dalam lima tahun ke depan sampai 2030, Indonesia akan mulai memiliki bonus demografi. Bonus demografi ini ditandai dengan dominasi jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) atas jumlah penduduk tidak produktif. Potensi bonus demografi ini tentunya akan menjadi beban ketika pemerintah tak mampu mengelolanya secara baik.
Terakhir, kita berharap semoga di masa depan kasus-kasus semacam peredaran pil PCC ataupun penyalahgunaan rokok elektronik mengandung narkoba bisa diantisipasi sejak awal. Dengan penguatan lembaga BPOM ini diharapkan juga akan mendorong lahirnya generasi-generasi Indonesia yang semakin sehat dan kompetitif untuk merespons tantangan bonus demografi di masa mendatang.
Tentunya, kita semua tidak menginginkan generasi masa depan Indonesia menjadi lemah akibat lalainya negeri ini dalam mengawasi sekaligus mengantisipasi potensi ancaman berbahaya yang datang dari makanan dan obat-obatan di ruang-ruang publik.
No comments:
Post a Comment