Jakarta, Hari Kesaktian Pancasila 1
Oktober 2019
Hari Kesaktian Pancasila pagi ini saya
peringati di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya Jakarta Timur.
Pancasila dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika menggambarkan keanekaragaman Indonesia sebagai sebuah negara
kesatuan. Ini semboyan yang menyerukan sebuah persatuan bagi seluruh warga di
negeri ini.
Sebagaimana diketahui, negeri ini
memiliki kepulauan yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas
sampai Pulau Rote. Dari sebaran yang sangat luas itu terpampang dengan jelas
adanya perbedaan latar belakang dari setiap provinsi di negeri ini. Itulah
sebabnya semua orang sepakat untuk menyebut Indonesia sebagai bangsa yang besar,
kaya, dan luas.
Tapi, apakah keanekaragaman yang ada di
negeri ini telah menjadi kekuatan yang paling utama? Atau sebaliknya, justru
dengan “terlalu beragamnya” berbagai bahasa, budaya, pemikiran, maupun adat-
istiadat itu telah membuat Indonesia menjadi sangat mudah untuk bercerai-berai?
Seberapa jauh pengamalan Pancasila, terutama sila ketiga, Persatuan Indonesia
bisa merangkul semua kepentingan majemuk kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia? Inilah serangkaian pertanyaan yang saat ini menjadi penting untuk dibahas.
Di zaman yang makin maju serta
penggunaan teknologi digital yang semakin berkembang pesat, ternyata memberikan
andil yang besar pula terhadap perubahan iklim sosial masyarakat. Kerentanan di
dalam struktur sosial masyarakat justru menjadi makin meningkat di saat
teknologi makin canggih. Tak sedikit, kerentanan itu muncul dengan menjamurnya
bentuk-bentuk opini publik ke tengah masyarakat Indonesia.
Fenomena itulah yang kemudian menjadikan
kehidupan sosial masyarakat di negeri ini menjadi sangat rentan. Opini-opini
itu terbentuk tak hanya di ruang-ruang formal saja. Namun pembentukan itu
semakin mudah merambah ke level paling akar di kehidupan masyarakat negeri ini.
Mulai dari suasana warung kopi pinggir jalan sampai yang sangat masif terbentuk
di ruang-ruang media sosial. Intensitasnya pun semakin hari semakin meningkat.
Adanya upaya pengkotak-kotakkan opini semakin terasa dan kian kuat daya
jelajahnya. Alhasil, menjadi sangat wajar jika suhu perpolitikan di Indonesia
semakin memanas dan menggaduhkan.
Aspirasi yang disampaikan oleh para
mahasiswa dalam aksi demostrasi akhir-akhir ini harus diperhatikan pemerintah
dan pemegang otoritas kebijakan. Masukan-masukan
yang disampaikan kepada pemerintah dalam demo itu harus menjadi catatan besar dalam
rangka memperbaiki kekurangan yang ada di negara ini.
Boleh dibilang, kalau dulu di masa
pra-kemerdekaan, semua elemen bisa saling bahu-membahu untuk memerdekakan
negeri ini, maka hal berbeda terjadi pada masa sekarang. Kalau masa lampau
negeri ini tampak sangat kompak, mulai dari kalangan pemuda hingga generasi tua
bisa saling menyokong untuk menghadapi tantangan hidup guna mewujudkan impian
Indonesia hidup berdaulat tanpa dijajah bangsa lain. Kini, setelah tujuh dekade
berlalu, situasi berbeda menjadi sangat jelas terlihat. Ada kesan yang makin
kental bahwa saat ini berbagai elemen di negeri ini menjadi bersikap saling
menjatuhkan, saling mengorek borok masing-masing lawan politiknya. Semua itu
ujungnya hanya untuk kepentingan jangka pendek lewat pencitraan yang dibentuk
guna merebut hati rakyat Indonesia setiap kali memasuki periode pemilihan
pemimpin pada pesta demokrasi di negeri ini. Tentunya, kedua fenomena itu
menjadi sangat berbeda motifnya meski tujuannya tetap sama. Tapi itulah fakta
yang tak dapat ditampik.
Lalu, apa yang menarik dari dua
ilustrasi di atas? Jika Anda melihat, kedua perbedaan itu terasa tidak memiliki
makna. Padahal, jika kita dalami, perubahan etika berpolitik anak-anak bangsa
ini tidaklah lagi seru dan mengasyikkan. Sekarang, semua menjadi terlihat
muram, suram, dan tidak mencerminkan pengamalan sila ketiga Pancasila,
Persatuan Indonesia.
Artinya, jika yang diperjuangkan oleh
semua elemen anak bangsa adalah kemajuan bangsa, bukankah seharusnya kita semua
bisa saling bersatu dan menguatkan? Tapi, sekali lagi, fakta yang tersaji pada
masa sekarang yang terjadi justru saling bersikutan dan menyontohkan panggung
politik yang tidak dipantasnya dipertontonkan di ruang-ruang publik.
Contoh paling konkret dalam mengukur
kekuatan sila ketiga, Persatuan Indonesia bisa dilihat ketika negeri ini sempat
ramai oleh penggunaan idiom kata pribumi yang disampaikan dalam pidato perdana Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Pandangan masyarakat menjadi terbelah,
ada yang pro dan ada yang kontra. Padahal sesungguhnya dalam iklim demokrasi,
hadirnya pro dan kontra itu merupakan hal yang lazim terjadi.
Sejatinya, semua perbedaan pandangan itu
bisa dilihat sebagai sebuah dinamika dari kehidupan berdemokrasi. Bukan
sebaliknya, perbedaan cara pandang dalam memaknai kata pribumi itu justru terus
‘digoreng’ sebagai komoditas politik yang bertujuan destruktif, menjatuhkan
rival politiknya. Akibatnya, persatuan kita menjadi rentan. Kejadian yang
memilukan di Wamena yang menimpa saudara-saudara kita dari Minang dan Bugis
beberapa hari yang lalu adalah buktinya.
Godaan yang menceraiberaikan
Bangsa yang besar dengan
keanekaragamannya meninggalkan cerita unik sendiri. Dari dua sisi yang bisa
kita lihat secara berbeda. Baik itu sisi positif maupun negatif. Sejauh ini
agar semakin terasah implementasi kita sebagai warga negara dalam menerapkan
Sila Ketiga dalam hidup sehari-hari. Penulis akan mencoba memaparkan berbagai
ancaman (threats) yang dimiliki bangsa Indonesia.
Penulis bahasakan sebuah ancaman sebagai
godaan. Sebuah daya tarik yang mampu menceraiberaikan negeri ini. Sudah penulis
bahas sebelumnya, ruang informasi era digital sekarang yang tidak berbatas,
menjadi momok tersendiri. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah
semestinya kita jaga dengan pengamalan sila Persatuan Indonesia yang sebaik-
baiknya.
Sebelum penulis masuk pada beberapa
solusi praktis untuk menjaga keutuhan NKRI dari sebuah cermin tindakan kita
mengaktualisasi diri dengan Pancasila. Ada yang perlu disampaikan lebih dahulu
mengenai godaan-godaan keutuhan NKRI. Karena belakangan ini, krisis
multidimensi semakin tajam, ditambah dengan tahun 2018-2019 adalah tahun
persaingan politik. Rentan sekali kondisi ini ditunggangi oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab.
Berikut adalah beberapa godaan yang
berpotensi menceraiberaikan negeri ini.
•
Disintegrasi
bangsa,
•
Ketimpangan
sosial,
•
Upaya
penggantian ideologi Pancasila,
•
Makar
atau upaya penggulingan pemerintah yang sah,
•
Konflik
antargolongan atau konflik SARA,
•
Penggiringan
opini publik melalui media sosial,
•
Ancaman
terorisme dan radikalisme.
Melihat berbagai godaan tersebut, sudah
sepatutnya kita sebagai satu kesatuan bangsa untuk lebih memerhatikan apa saja
yang bisa mencerai-beraikan kita semua. Upaya mempererat persatuan bangsa ini
harus berasal dari kesadaran kita sebagai rakyatnya.
Berikut adalah langkah praktis dari
penulis untuk mengokohkan rasa persatuan dalam kesatuan kita sebagai bangsa,
yang ilmunya diperoleh dari Lemhannas RI. Untuk mengukur integritas keutuhan
NKRI itu dapat dilihat melalui parameter berikut:
Mengukur Integritas
Keutuhan NKRI
Mengukur integritas di dalam keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilihat dari sudut pandang indikator
Panca Gatra (Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Hankam) dan Tri Gatra
(Geografi, Demografi, Sumber Kekayaan Alam/SKA).
Ideologi. Bangsa Indonesia telah menetapkan
Pancasila sebagai ideologi bangsa. Ketetapan tersebut telah dirumuskan dalam
Pembukaan UUD NRI 1945 dan merupakan kesepakatan nasional yang disebabkan oleh
persamaan sejarah, nasib, dan cita-cita perjuangan demi mewujudkan masyarakat
adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila.
Politik. Terjadi perubahan mendasar melalui
perkembangan politik dalam negeri. Di mana pada tahap awal reformasi telah
memberikan perubahan yang mendasar bagi terciptanya iklim demokratisasi di
bidang politik dan ekonomi serta desentralisasi di bidang pemerintahan dan
pengelolaan pembangunan.
Ekonomi. Dengan wilayah yang luas dan potensi SKA
yang cukup besar apabila dieksploitasikan akan dapat memberi sumbangan yang
besar di bidang pembangunan ekonomi. Ketangguhan perekonomian Indonesia sudah
dibuktikan ketika menghadapi kisis global tahun 2008.
Sosial Budaya. Tata kehidupan dan perilaku sosial
budayanya berkembang tidak radikal cenderung primodial sosialistik, agak
konservatif, serta kurang tinggi etos kerja dan daya saingnya. Berbeda jika letak
Indonesia di tengah-tengah negara maju dengan tingkat sosial yang berkembang
pesat.
Pertahanan dan Keamanan
(Hankam). Penyelenggaraan
sistem keamanan nasional yang kokoh, pelaksanaan pembangunan beserta
hasil-hasil yang telah dicapai dapat terhindar dari berbagai ancaman sehingga
dapat mewujudkan masyarakat yang aman dan sejahtera dalam rangka keutuhan NKRI.
Demografi. Jumlah penduduk Indonesia lebih kurang 265
juta jiwa, yang terdiri dari berbagai suku bangsa, ras, agama, serta
kemajemukan budaya. Potensi sumber daya manusia merupakan modal dasar dalam
pembangunan nasional. Hal ini terbukti nanti dengan potensi bonus demografi yang
akan didapat Indonesia pada tahun 2030.
Geografi. Daratan dan lautan Indonesia dengan
sumber kekayaan alamnya sangat memberi peluang dasar bagi pemenuhan kebutuhan
dan kesejahteraan bangsa. Dewasa ini masih banyak sumber kekayaan alam baik
hayati maupun mineral yang belum dikelola secara optimal melalui eksplorasi
maupun eksploitasi.
Sumber Kekayaan Alam (SKA).
Kekayaan alam dan
keanekaragaman hayati yang terdapat di darat dan di laut terbatas jumlahnya
sehingga upaya untuk mendayagunaakannya harus dilakukan secara bertanggung
jawab untuk kemakmuran rakyat. Di samping itu, keberadaan sumber kekayaan alam
merupakan modal utama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi guna
mendukung pelaksanaan pembangunan.
Penutup
Pada akhirnya, mari kita semua sejenak
berpikir, siapa lagi yang bisa menjaga keutuhan dalam persatuan Indonesia?
Siapa lagi yang layak dan pantas menumbuhkan jiwa nasionalisme bagi bangsa?
Jawabannya adalah kita sebagai rakyat Indonesia. Berbagai langkah-langkah
praktis sudah kita tempuh. Sekarang, di era yang serba canggih ini, sudah
selayaknya semangat persatuan dan jiwa nasionalisme kita junjung tinggi.
Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa
Indonesia sebenarnya merupakan nilai-nilai kearifan dari nenek moyang yang
sudah lama hidup, tumbuh, dan mengakar kuat di bumi nusantara sejak zaman
dahulu. Nilai-nilai kearifan tersebut kemudian digali oleh para pendiri bangsa
(founding fathers) untuk dijadikan sebagai dasar negara Indonesia. Sesungguhnya kehidupan berbangsa dan bernegara
akan menjadi tenteram, damai, bersatu, dan semakin maju manakala seni dan
budaya terus dibina dan dikembangkan. Kata kuncinya adalah apabila semua pihak
memiliki komitmen yang sama, dan itu sesungguhnya landasan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Bersatulah Indonesia !
No comments:
Post a Comment