Tahun ini, Indonesia menapaki momentum perayaan 71 tahun kemerdekaannya. Ibarat manusia, usia kemerdekaan yang telah direguk negeri ini seharusnya telah memasuki fase yang matang.
Namun, benarkah kehidupan negeri ini sudah menjadi bangsa yang matang secara ekonomi, politik, dan sosial atau dalam istilah founding fathers negeri ini disebut sebagai bangsa yang berdaulat?
Inilah pertanyaan besar yang selalu mengiringi setiap kali perayaan 17 Agustus. Sayangnya, pertanyaan klasik semacam ini sekadar melintas. Tapi, dalam perjalanan waktu, kita justru lebih terlihat gamang menemukan solusinya.
Lantas, ketika masih terjebak dalam kegamangan tak berujung untuk menemukan solusi, Indonesia sudah dihadapkan pada tantangan baru bernama globalisasi di kawasan ASEAN. Kita lebih mengenalnya dengan sebutan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Fase ini resmi bergulir sejak akhir Desember 2015. Di sini, persaingan menjadi lebih terbuka. Rasanya, hanya sumber daya manusia (SDM) kompetitif yang kelak bisa survive untuk menjadikan negaranya sebagai bangsa unggul dan berdaulat.
Pertanyaan berikutnya: mampukah Indonesia menjadi bangsa unggul dan berdaulat di tengah persaingan bebas antarnegara kawasan di ASEAN? Tanpa hendak bersikap pesimistis, negeri ini masih harus berjuang keras menjadi bangsa berdaulat, sebagaimana dicita-citakan Presiden Indonesia pertama, Bung Karno.
Merujuk survei Prosperity Index 2015 --di dalamnya memuat peringkat kemakmuran-- lembaga penelitian Legatum Institute dari Inggris, posisi Indonesia masih jauh di belakang Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Kriteria penilaian survei meliputi tingkat ekonomi, kewirausahaan, kesehatan, pendidikan, dan pendapatan rata-rata per kapita.
Lalu berkaca kepada survei Indeks Pembangunan Pendidikan untuk Semua atau the Education for All Development Index (EDI), yang dilakukan United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), posisi Indonesia terlihat sangat miris. Survei itu menempatkan Indonesia di peringkat ke-10 dari 14 negara dalam hal kualitas pendidikan di negara-negara berkembang di Asia-Pasifik.
Tingkat pendapatan nasional yang dicerminkan melalui produk domestik bruto (PDB), posisi Indonesia pun tertinggal dari Malaysia dan Singapura. Padahal, mereka memiliki usia kemerdekaan lebih muda dibandingkan Indonesia. Malaysia merdeka dari Inggris pada 31 Agustus 1957 dan Singapura pada 9 Agustus 1965.
Dari fakta ekonomi, PDB Singapura dan Malaysia sudah jauh meninggalkan Indonesia. Data Bank Dunia yang dirilis pada 2016 menempatkan Singapura sebagai negara kaya kesembilan dengan PDB sebesar 55.182 dolar AS. Lalu Malaysia berada di peringkat ke-66 (PDB senilai 10.538 dolar AS). Adapun Indonesia tercecer di peringkat 118 dengan PDB sebesar 3.475 dolar AS.
Mengapa usia kemerdekaan Indonesia yang lebih lama dibandingkan Singapura ataupun Malaysia itu, tak mampu berjalan linier dengan perbaikan tingkat kehidupan penduduk dan bangsanya? Satu hal utama adalah bangsa ini sebenarnya tidak fokus menata masa depannya. Bahkan ironisnya, inisiasi menciptakan globalisasi itu justru berawal dari bumi Indonesia.
Tepatnya, pada 1994 terlahir kesepakatan bernama Bogor Goals. Kesepakatan ini dirumuskan dalam pertemuan APEC di Bogor. Bogor Goals itulah yang kemudian menciptakan dasar-dasar globalisasi pada masa kini.
Sayangnya, inisiasi globalisasi yang ditandai di Bogor itu justru diabaikan stakeholders negeri ini. Seiring jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada 1997, Indonesia justru dibawa terlena ke dalam euforia demokrasi. Padahal pada periode yang sama, ide mencanangkan MEA itu telah digagas di Bangkok, Thailand. Untuk kali kesekian, bangsa ini justru lupa atau sengaja melupakan diri untuk segera menyiapkan SDM yang siap berkompetisi secara global.
Kita justru meloncat lebih jauh dengan menyibukkan diri pada persiapan pemilihan presiden secara langsung pada 2004. Tanpa kita sadari, energi untuk menata demokrasi itu ternyata sangat besar sehingga kita melupakan, bagaimana membuat roadmap masa depan negeri.
Ini dapat dilihat setelah tidak adanya Garis Besar Haluan Negara (GBHN), selepas tumbangnya Orde Baru melalui peristiwa Reformasi 1998. Sedangkan, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) nasional justru baru dilahirkan pada 2007.
Artinya, selama sembilan tahun, Indonesia sempat tidak memiliki gambaran masa depan. Sementara, kita semua justru terlena ke dalam hiruk pikuk dan kegaduhan politik pragmatis, yang menghiasi kontestasi demokrasi di negeri ini. Kegaduhan itu semakin berlanjut lagi ketika para menteri terpilih di pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, justru lebih gemar mengerjakan hal-hal di luar Rencana Strategis (Renstra) lima tahunan.
Berbicara mengenai daya saing, sesungguhnya kita berbicara kualitas SDM. Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Agustus 2015, hampir separuh (47,1 persen) tenaga kerja Indonesia adalah lulusan SD ke bawah.
Bagaimana lulusan SD bisa bersaing di MEA? Masih bisa, kalau mereka memiliki sertifikasi kompetensi tenaga kerja. Dalam hal ini, pemerintah jangan abai dan jangan terlambat karena ini merupakan hal penting pada era globalisasi.
Tak elok mendengar berita seorang menteri harus berkunjung ke Jepang, setelah mendengar kabar banyak perawat Indonesia yang dikirim ke sana justru ditolak oleh pihak rumah sakit setempat. Setelah ditelisik, penyebabnya adalah minimnya sertifikasi kompetensi tenaga kerja Indonesia. Padahal pada era MEA, sertifikasi kompetensi ini sangat diperlukan jika kita ingin mengekspor tenaga terampil ke negara tetangga.
Inilah tantangan yang masih mengadang bangsa ini pada saat usia kemerdekaannya memasuki perayaan ke-71 tahun. Kita boleh saja tersenyum bahagia karena tak lagi terjajah secara fisik seperti masa lalu. Tapi, kita juga harus sadar diri bahwa bangsa ini masih belum mampu menjadi bangsa berdaulat atas kemampuan dirinya sendiri.
Rasanya sebuah penggalan pidato Bung Karno pada HUT Proklamasi 1963, masih terdengar pantas sebagai bahan refleksi buat generasi masa kini dan generasi mendatang. "Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka."
Mari, sudah saatnya kita memfokuskan diri menghadapi persaingan global. Tak lupa juga, sudah saatnya bangsa ini memperbaiki mutu SDM jika ingin berkompetisi pada era MEA. Tanpa peningkatan mutu disertai penambahan dan asistensi untuk sertifikasi kompetensi tenaga kerja, rasanya ikhtiar mewujudkan kedaulatan bangsa seperti yang pernah didengungkan Bung Karno akan sangat sulit digapai. Salam dirgahayu Indonesia. Saatnya kita membuat perubahan.
No comments:
Post a Comment