Kegelisihan teramat sangat menyambut Hari Pahlawan 10 November. Sebuah survei yang pernah dirilis Prapancha Research (PR) memperlihatkan, adanya pergeseran makna terhadap arti pahlawan pada masa kini.
Hasil riset terhadap empat juta perbincangan tentang 'pahlawan' dan 'kepahlawanan' di media sosial, memperlihatkan bahwa pahlawan pada masa kini adalah sosok pahlawan yang dikaitkan dengan tindakan 'orang-orang biasa', tapi sangat berarti bagi sesama (Liputan6.com, 2016).
Sebagian besar responden tidak lagi mengenali kisah perjuangan dan nilai-nilai luhur yang telah ditunjukkan oleh sosok semacam Bung Tomo, Sudirman, atau pahlawan kemerdekaan lainnya. Inilah ironi masyarakat masa kini.
Ironisme lain terlihat juga dengan munculnya beragam informasi negatif tentang para pahlawan bangsa ini. Semangat yang digaungkan itu sesungguhnya buah dari semangat liberalisme dalam menyampaikan pendapat. Inilah ironisme yang kelak bisa menggerus makna dan nilai kepahlawanan bangsa ini.
Kita menjadi begitu bangga untuk menyampaikan kritik kepada para pahlawan, tapi kita tidak pernah sadar kritik semacam itu justru menjadi kontraproduktif untuk menjadikan bangsa ini besar.
Bukankah Bung Karno pernah mengingatkan bangsa ini melalui pidatonya, "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah". Sayangnya, sebagai bangsa yang masih gagap menyambut keterbukaan informasi dalam iklim demokrasi, sebagian anak bangsa ini begitu lantangnya menelanjangi hal negatif dari para pahlawan negeri ini.
Seakan kita beranggapan bahwa sosok pahlawan itu hanyalah manusia biasa yang tak lepas dari cela. Inilah bentuk sesat pikir keterbukaan yang begitu membahayakan.
Padahal, masyarakat di Amerika Serikat --negara yang menyemaikan demokrasi dan liberalisme-- masih tetap bangga menceritakan kembali para tokoh bangsanya. Mengapa ini bisa terjadi di Amerika? Apakah yang terjadi di negeri ini hanya anomali dari masyarakat Indonesia yang sedang mengalami banjir informasi?
Sepatutnya, kita tak harus terus menunjuk pihak lain atau mencari kesalahan. Momentum Hari Pahlawan harusnya bisa menjadi ruang refleksi sekaligus introspeksi diri. Saatnya kita meredefinisikan makna pahlawan dan kepahlawanan dalam konstektualitas yang kekinian.
Untuk melakukan hal itu, tentunya pemerintah dan institusi pendidikan bisa saling bersinergi melakukan riset. Riset yang komprehensif sangat diperlukan guna mendapatkan formulasi terbaik, memperkenalkan kembali para pahlawan masa lalu kepada generasi masa kini yang mengalami banjir informasi.
Saatnya kita mengubah cara-cara membosankan dalam mendesiminasikan cerita pahlawan kepada generasi masa kini. Perlu adanya pengayaan dalam sudut pandang untuk menceritakan ulang semangat dan makna nilai dari sosok pahlawan masa lalu. Tentunya, riset itu harus menempatkan para pahlawan dalam tempatnya yang agung dalam perjalanan sejarah bangsa.
Harus diakui, selama ini riset mengenai pahlawan bangsa di negeri ini masih sangat minim. Kurangnya keinginan itu tak lepas dari tidak adanya follow-up terhadap riset tersebut. Padahal, begitu banyak medium yang dapat menjadi outcome riset semacam itu.
Salah satu cara efektif seperti yang dilakukan beberapa sineas terbaik negeri ini, dengan mengangkat kembali kisah-kisah biography picture (biopic) para pahlawan ke layar lebar.
Namun perlu diingat, proses pembahasaan ulang sejarah dengan model ini harus dilakukan hati-hati. Jangan demi keinginan menghibur semata, tapi nilai-nilai luhur para pahlawan yang diceritakan itu menjadi tergerus. Hal yang perlu dipertegas adalah tempatkanlah mereka di kedudukan terhomat.
Hanya dengan itulah kita akan bisa lebih memaknai pahlawan, yang sudah sangat berjasa bagi negeri ini. Perlu ditekankan juga dalam proses menyampaikan nilai-nilai kepahlawanan dan cerita pahlawan itu perlu adanya tokoh bangsa yang kuat.
Mengapa kita membutuhkan tokoh bangsa? Hanya dengan cara semacam itulah pesan yang akan disampaikan bakal menjadi lebih kuat sampai ke publik.
Pertanyaannya sekarang, adakah tokoh bangsa yang bisa membahasakan nilai-nilai ketokohan dari para pahlawan masa lalu kepada masyarakat, yang tengah larut dalam euforia demokrasi dan kebebasan?
Secara jujur, sekarang ini kita sedang mengalami krisis tokoh bangsa. Para tokoh bangsa yang kerap muncul di ruang publik masih banyak terjebak pada pragmatisme politik jangka pendek. Tak dapat dimungkiri, saat ini kita sedang masuk fase paceklik kepemimpinan di setiap lini.
Tidak mengherankan kalau masyarakat sekarang memiliki cara sendiri, untuk menjadikan pahlawan masa kini adalah orang-orang biasa yang mampu memberikan arti kepada sesamanya. Tentunya, ini menjadi ancaman bagi negeri yang kini sudah merdeka 71 tahun.
Pertanyaan besar lainnya: Akankah kita meniadakan pahlawan pada masa mendatang hanya karena kita sudah tidak mempunyai lagi tokoh bangsa yang dapat dihormati? Atau, akankah pahlawan masa lalu itu tergerus dari ingatan kolektif generasi mendatang hanya karena kita begitu bangga dengan liberalisme informasi?
Semua itu adalah pilihan. Namun secara ideal, kita jangan pernah melupakan pahlawan masa lalu. Tempatkanlah terus para pahlawan masa lalu itu dalam ingatan masa kini dan masa mendatang.
Kelak, hanya dengan cara semacam itulah Indonesia akan bisa menjadi bangsa besar, yakni bangsa yang selalu mengingat jasa pahlawan masa lalunya.
No comments:
Post a Comment