Tulisan
ini dibuat dengan penuh kehati-hatian, karena sebagai warga negara adalah
kewajiban untuk memberikan yang terbaik bagi negeri ini. Namun, sebagai
Aparatur Sipil Negara (ASN) dituntut untuk bersikap netral dalam pesta
demokrasi ini.
Jika
sempat memperhatikan berbagai komentar masyarakat dan kalangan akademisi
mengenai debat pertama calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan
cawapres), mungkin kita akan bertanya mengapa setiap orang lebih suka
mempersoalkan debat yang tak menarik, petahana yang dianggap tidak memiliki catatan
sukses di bidang pemberantasan korupsi, soal tangkap tangan KPK, penantang yang
tidak memberi solusi menjanjikan, dan lainnya. Lebih mengenaskan lagi ada
sebagian masyarakat yang lebih suka membicarakan salah satu cawapres yang
dianggap tidak perform.
Pemberitaan
media cetak, online, dan televisi beberapa hari setelah debat pertama 17
Januari lalu, relatif masih didominasi isu saling tuding, masing-masing kubu
yang merasa unggul dalam perdebatan, atau keluhan tentang peran moderator. Yang
sedikit lebih maju, mungkin, perbincangan tentang format debat berikut dan
siapa yang akan menjadi moderator.
Satu
hal yang dilupakan banyak orang, termasuk kubu dua pasangan calon, adalah
gagasan besar apa yang ditawarkan ke sekian ratus juta rakyat Indonesia. Lebih
jelasnya, harus seperti apa Indonesia dalam 25 tahun ke depan, atau ketika
negeri ini berusia seratus tahun. Apa yang seharusnya dimiliki Indonesia di
bidang teknologi dan industri, di mana pantasnya posisi Indonesia di kawasan
regional dan internasional, dan bagaimana posisi ekonomi negeri ini di antara
negara-negara besar Asia dan dunia, saat berusia satu abad.
Perdebatan
calon pemimpin akan sangat menarik jika kedua kubu bisa saling belajar dari
sejarah, memaparkan kondisi Indonesia saat ini di dunia internasional,
menawarkan gagasan dan saling mengoreksi blue print yang dipaparkan. Jika ini
terjadi, rakyat Indonesia kali pertama akan diberi suguhan mencerdaskan, berupa
adu gagasan dari figur yang benar-benar layak memimpin bangsa besar ini.
Perdebatan
bisa dimulai dari situasi Indonesia di pentas dunia. Di level internasional,
Indonesia pernah dikagumi banyak negara berkat visi Presiden Soekarno
menyatukan negara-negara Asia dan Afrika, dengan puncaknya saat Konferensi Asia
Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955. Konferensi menghasilkan Dasasila Bandung,
dan memprovokasi banyak negara Afrika dan Asia yang terjajah untuk
memperjuangkan kemerdekaan. KAA juga melahirkan Gerakan Non-Blok (GNB) sebagai
akibat Perang Dingin Timur-Barat yang terus memanas dan perlombaan senjata.
Di
bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, pada 1994 dideklarasikan Bogor Goals yang
bertujuan menciptakan liberalisasi sistem perdagangan dan investasi, memperkuat
sistem perdagangan multilateral yang terbuka, meningkatkan liberalisasi perdagangan
dan jasa, mengintensifkan kerja sama ekonomi di Asia-Pasifik, dan mempercepat
proses liberalisasi melalui penurunan hambatan perdagangan dan investasi lebih
jauh. Terakhir, Indonesia memberanikan diri terlibat dalam misi perdamaian di
Bosnia-Herzegovina.
Di
kawasan regional, Indonesia –bersama Malaysia, Thailand, Singapura, dan
Filipina— melahirkan Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Bangkok.
Selama kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia berperan penting menjaga
stabilitas kawasan ASEAN, mempererat hubungan ekonomi di antara negara di
kawasan Asia Tenggara, dan berperan penting mengakhiri konflik bertahun-tahun
di Kamboja. Terakhir, Indonesia berperan menciptakan perdamaian di kawasan
konflik di selatan Filipina.
Bagaimana
posisi Indonesia di level internasional dan regional saat ini? Jika mau jujur
mungkin tidak ada kisah sukses yang patut dibanggakan dalam satu dekade
terakhir. Kalau pun ada, mungkin sukses Indonesia menjadi anggota tak tetap
Dewan Keamanan PBB. Namun, kita tidak tahu peran apa yang akan dimainkan
Indonesia di PBB untuk menciptakan perdamaian dunia.
Di
level ASEAN, kita tidak tahu apa peran yang dimainkan Indonesia. Terakhir,
Indonesia, sebagai negara besar di ASEAN, berusaha berperan dalam masalah
Rohingya. Di kawasan Laut China Selatan, Indonesia di bawah Presiden Soeharto
sempat berperan mencari jalan damai atas klaim tumpang tindih di kawasan ini.
Sebagai bukan pengklaim, posisi Indonesia bisa diterima semua pihak. Namun
ketika Tiongkok memasukan sebagian perairan Natuna ke dalam peta teritorialnya,
dikenal dengan sebutan nine dash line, ketegangan diplomatik Indonesia-Tiongkok
tak bisa dihindari.
Di
masa depan, bukan tidak mungkin ketegangan di Perairan Natuna menjadi konflik
terbuka. Saat ini saja, Tiongkok telah membangun pangkalan angkatan laut di
beberapa pulau di Kepulauan Spratly, yang memungkinkan kapal-kapal mereka
menjangkau seluruh Laut China Selatan. Pembangunan landasan pesawat terbang
membuat jet-jet tempur Tiongkok mampu menyerang pulau-pulau yang diklaim
Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Pasangan capres dan cawapres sudah
seharusnya memikirkan visi pertahanan yang hendak dibangun untuk menghadapi
kemungkinan konflik di Perairan Natuna.
Persoalan
Domestik
Isu
dalam negeri seharusnya tidak lagi menjadi perdebatan antara capres-cawapres.
Masalah kemiskinan, pembangunan infrastruktur, penegakan hukum dan hak asasi
manusia, swasembada pangan, energi, minyak dan gas bumi, serta lainnya, adalah
persoalan yang menjadi tanggung jawab setiap pemimpin Indonesia, tanpa harus
diperdebatkan. Tidak perlu lagi ada janji-janji membangun ini dan itu untuk
rakyat, serta membanggakan keberhasilan dalam negeri.
Sebagai
bangsa besar di kawasan regional, yang diperlukan Indonesia adalah pemimpin
yang mampu meletakkan cetak biru rencana pembangunan jangka panjang nasional
(RPJPN), bukan sekadar rencana pembangunan jangka menengah nasional (RJPMN).
Perlu dipahami, RPJPN adalah penjabaran tujuan dibentuknya pemerintahan negara
Republik Indonesia seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 45 dalam bentuk visi,
misi, dan arah pembangunan nasional. Sedangkan, RPJMN adalah rancangan
teknokratik, yang habis setelah seorang presiden selesai menjalankan tugas.
RPJPN
berupa skenario pembangunan di semua aspek; sumber daya manusia, iptek, ekonomi,
politik, dan hukum, dengan target pencapaian yang ideal sebagai sebuah bangsa
besar. Lebih terperinci lagi, RPJPN –dengan mempertimbangkan posisi Indonesia
saat ini, perkembangan teknologi, dan lingkungan geopolitik dan geoekonomi–
berisi skenario pembangunan dan pencapaian di semua subsektor; pariwisata,
ketenagakerjaan, maritim, perdagangan internasional, penguatan kelembagaan,
lingkungan hidup, dan lainnya.
Terlepas
ada begitu banyak kontroversi, Presiden Soeharto –setelah mendengar pemaparan
BJ Habibie mengenai pentingnya penguasaan industri dirgantara– menetapkan
pentingnya pembangunan industri pesawat terbang. Krisis moneter menggagalkan
pencapaian itu, yang membuat industri dirgantara dalam negeri gagal memenuhi
kebutuhan ratusan pesawat murah yang luar biasa besar untuk melayani seluruh
kota di Indonesia.
Terlepas
dari kegagalan itu, sukses BJ Habibie membangun industri pesawat terbang,
membuat Indonesia menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang memiliki kemampuan
mengembangkan teknologi dirgantara.
Kini,
bolehlah kita bertanya kepada capres dan cawapres yang akan berdebat untuk
kedua kalinya, masihkah akan berkutat dengan persoalan-persoalan kekinian, dan
mengabaikan visi Indonesia tahun 2045, saat Indonesia berusia satu abad, dan
bagaimana meletakkan landasan pembangunannya. Satu hal yang harus diingat,
Indonesia relatif tidak punya apa-apa lagi yang layak dibanggakan setelah BJ
Habibie menerbangkan pesawat pertamanya. Krisis moneter membuat Indonesia kalah
di semua arena persaingan internasional, dan lebih suka berkutat dengan
persoalan dalam negeri.
Alangkah
bijak jika kedua capres dan cawapres mulai berpikir kapan putra terbaik
Indonesia memimpin Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menjadi orang nomor satu
di Dana Moneter Internasional (IMF), atau mandiri di bidang teknologi militer
sehingga mampu menjawab persoalan keamanan di sekujur perairannya, misalnya
kemampuan TNI AL setara Blue Water Navy. Kapan kita berdaulat atas langit kita
sendiri, misalnya Flight Information Region dikuasai NKRI. Strategi apa yang
jitu untuk meningkatkan peran Indonesia di tingkat global dengan mempersiapkan
tenaga kerja bertalenta dan berketerampilan yang ulet dan tangguh dalam bursa
kerja internasional
Di
bidang ekonomi, cetak biru pembangunan ekonomi berkelanjutan seperti apa yang
akan diletakkan untuk mengejar pencapaian membanggakan saat Indonesia berusia
satu abad. Satu hal yang harus diingat, Indonesia tidak dibangun untuk satu,
dua, atau tiga generasi, tapi sekian puluh generasi dan seterusnya. Visi
pembangunan yang harus dikembangkan bukan untuk lima atau sepuluh tahun ke
depan, tapi untuk anak cucu.
No comments:
Post a Comment