Jakarta, 2 Mei 2018
Sepenggal kalimat dari Ki Hadjar Dewantara itu rasanya perlu digaungkan kembali untuk memaknai momentum Hari Pendidikan Nasional yang selalu diperingati setiap 2 Mei. Ki Hadjar adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, sekaligus juga Bapak Pendidikan Nasional yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI No. 305 tahun 1959. Melalui kepres tersebut, hari kelahiran beliau pada 2 Mei 1889 selanjutnya dikukuhkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Lantas, apa urgensi dan yang membuatnya berbeda dari setiap kali Hari Pendidikan Nasional itu dirayakan dari tahun ke tahun? Untuk tahun ini, kiranya kita semua perlu merefleksikan satu kata kunci dari pernyataan Ki Hadjar di atas, yakni kebudayaan! Mengutip definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat, kebudayaan itu berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata Budhayah yang merupakan bentuk dari kata budhiyang berarti akal. Jadi, kebudayaan itu dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal.
Dari definisi tersebut maka terlihat sangat jelas adanya korelasi antara kebudayaan dan pendidikan. Secara sederhana, tesis yang bisa dimunculkan adalah ketika pendidikan itu diperkuat maka harusnya kebudayaan itu akan semakin baik. Lalu pertanyaan pun muncul kembali, bagaimana dengan pendidikan -- khususnya pendidikan tinggi di Indonesia -- di era teknologi digital seperti sekarang?
Tentunya, tantangan pendidikan yang dihadapi pada masa sekarang sudah berbeda jauh dengan era Ki Hadjar Dewantara. Pada masa lalu, teknologi masih belum menjadi pegangan hidup (way of life). Pada masa kini, di saat dunia global sudah memasuki era digital, teknologi tak hanya menjadi way of life namun sudah menjadi lifestyle. Tantangan pun menjadi semakin berat karena perkembangan teknologi digital dengan kemampuan artificial intelligence (AI) --yang di dalamnya mengubah data menjadi informasi-- akan membuat semua orang bisa secara mudah dan murah untuk memperoleh kebutuhan informasi.
Inilah yang harusnya disikapi oleh pelaku pendidikan, khususnya pendidikan tinggi di Indonesia. Melangkah tanpa melakukan akselerasi dengan kemajuan teknologi yang sudah berkembang pesat, rasanya menjadi sangat naif. Namun sebagaimana dinyatakan oleh pendiri Microsoft, Bill Gates, teknologi itu sesungguhnya hanyalah alat. Untuk menjadikan anak-anak bangsa bisa saling bekerjasama dan termotivasi, peran paling utamanya adalah seorang guru.
Bill Gates mafhum benar bahwa guru merupakan pondasi bagi proses mengalirnya perkembangan teknologi dan perubahan di masa mendatang. Untuk itulah, kemampuan para guru dan dosen ini perlu mendapat perhatian besar. Sayangnya, porsi tenaga pengajar di Indonesia masih terbilang rendah.
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Muhammad Nasir pernah menjelaskan perbandingan jumlah ideal dosen dengan mahasiswa di perguruan tinggi swasta itu adalah satu banding 30 (1:30) untuk mata kuliah eksakta dan satu banding 45 (1:45) untuk sosial. Sementara itu, untuk perguruan tinggi negeri perbandingan dosen dengan mahasiswanya adalah 1:20 untuk eksakta dan 1:30 untuk ilmu sosial.
Parameter lain yang bisa dirujuk untuk melihat masih minimnya tenaga pengajar dosen yang masih rendah di negeri ini adalah para penyandang gelar doktor (S3). Di Indonesia, dari setiap satu juta penduduk hanya terdapat 143 doktor. Sementara, Malaysia memiliki rasio dari setiap satu juta penduduk terdapat 509 doktor. Selanjutnya di India, terdapat 1.410 doktor dalam setiap satu juta penduduknya.
Inilah tantangan nyata yang dihadapi oleh dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Selain belum tercapainya kondisi ideal antara dosen dan mahasiswa, Indonesia menghadapi pula tantangan perubahan dalam proses pengajaran. Ke depannya, perguruan tinggi harus mulai menerapkan sistem pengajaran hybrid. Dalam hal ini, pengelola pendidikan tinggi di Indonesia sudah seharusnya memikirkan penerapan teknologi pembelajaran atau perkuliahan secara daring yang kini dikenal sebagai Massive Open Online Courses (MOOCs).
Untuk mendorong model semacam itu, perlu pula dipikirkan pembentukan lembaga penjamin mutu terhadap perkuliahan daring. Lembaga ini dapat dibentuk antar perguruan tinggi atau dapat pula oleh pemerintah, yang bertugas memberi jaminan pada pasar kerja mengenai kemampuan lulusan untuk memenuhi keperluan lapangan kerja. Sertifkasi semacam ini diperlukan antara lain bila seorang mahasiswa sebagian besar beban akademiknya diambil dari berbagai sumber. Hingga kini, Indonesia masih terlihat gagap.
Di tengah kegagapan itu, kita juga dihadapi tantangan kepada para peserta didik kita, dalam hal ini mahasiswa. Para mahasiswa tentunya harus bisa responsif pula dalam menjawab semua perubahan ini secara positif. Artinya, perubahan tantangan zaman ini harus bisa dilakukan secara selaras dengan seluruh stakeholders di dunia pendidikan. Mahasiswa sebagaimana cikal bakal pemimpin bangsa, sudah sepatutnya bisa memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk membekali dirinya dengan pengetahuan tanpa mengabaikan kebudayaan bangsa yang berlandaskan pada Pancasila.
Inilah semangat yang harusnya dimunculkan kembali di saat negeri ini merayakan momentum Hari Pendidikan Nasional. Kita boleh saja menjadi pintar secara akal tapi kita tidak boleh melupakan nilai-nilai agung bangsa ini sebagaimana yang sudah terkandung di dalam Pancasila. Jika bangsa ini ingin maju seperti Cina, Jepang dan negara-negara Eropa lainnya, maka perkuatlah dengan ilmu pengetahuan. Tapi jika kita ingin menjadi bangsa besar di dunia maka jangan pernah tinggalkan Pancasila sambil terus memperkuat ilmu pengetahuan modern.
Tentunya, Pancasila yang dipahami itu tidak digunakan sebagai alat dagang kampanye politik praktis yang bersifat sloganistik saja. Tapi, bagaimana mengamalkan Pancasila yang sesungguhnya ke dalam dunia pendidikan menjadi sangat pentinguntuk diejawantahkan.
No comments:
Post a Comment