Komitmen besar untuk menjadikan Indonesia sebagai negara
poros maritim dunia telah diikrarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak awal
masa pemerintahannya. Berbekal dengan sebaran 17.000 lebih pulau serta
luas lautan yang mencapai 3,3 juta km persegi sudah sewajarnya untuk
menjadikan potensi tersebut sebagai sumber percepatan pertumbuhan ekonomi
di negeri ini.
Namun, untuk mewujudkan niat mulia yang berlandaskan
pada kekuatan maritim tadi, tampaknya masih banyak tugas besar yang harus dibenahi.
Terutama dalam sisa setahun masa pemerintahan Jokowi yang akan berakhir
pada 2019. Salah satu tugas besar yang masih menjadi beban adalah bagaimana
mendorong terjadinya percepatan pemerataan pembangunan, khususnya di
Pulau Jawa yang selama ini menjadi wilayah terpadat penduduknya di negara
berpenduduk 261 juta jiwa ini.
Walau komitmen untuk menjadikan kekuatan maritim sebagai
salah satu fondasi pembangunan, fakta yang ada adalah potensi itu justru
masih belum dilakukan secara optimal. Indikator ini dapat terlihat, misalnya,
dari adanya disparitas spasial antara kawasan yang berada di selatan dan
utara Pulau Jawa. Infrastruktur pembangunan yang lebih baik di kawasan
utara membuat potensi sumber daya di wilayah ini menjadi makin terbatas
ketersediaannya jika dibandingkan kawasan yang ada di selatan Jawa.
Lalu berkaitan dengan upaya mempercepat pembangunan
infrastruktur di kawasan selatan, sejauh ini pemerintah memang sudah mulai
merintis pembangunan ruas jalan nasional serta sejumlah bandara dan
pelabuhan. Namun, jika melihat pola pengembangan yang ada, gelontoran dana
itu masih lebih besar disuntikkan ke wilayah utara. Situasi ini dapat dimafhumi
karena kawasan selatan Pulau Jawa kerap dibayang-bayangi oleh sejumlah
kendala topografi wilayah maupun potensi bencana alam.
Hal ini bisa diperkuat juga dengan data indikator Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Data Badan
Pusat Statistik (BPS) 2016 menunjukkan adanya ketimpangan begitu besar di antara
kedua wilayah ini. Kawasan utara memiliki PDRB sebesar Rp86,32 triliun, sedangkan
PDRB wilayah selatan hanya mencapai Rp26,64 triliun. Lalu berdasarkan nilai
IPM, wilayah utara memiliki nilai lebih tinggi dibanding wilayah selatan
(70,10 berbanding 69,05). Nilai indeks IPM di utara itu menunjukkan bagaimana
penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan,
kesehatan, pendidikan, dan sebagainya dalam kategori yang tinggi.
Sinergi institusi pendidikan
Berkaca dari fakta itu, Jokowi dalam sisa periode masa kepemimpinannya
kali ini sepatutnya lebih banyak lagi melibatkan peran institusi pendidikan
tinggi untuk mewujudkan komitmen Indonesia sebagai poros maritim
dunia.
Di Universitas Darma Persada (Unsada), misalnya, sejak
beberapa tahun terakhir ini telah merintis hadirnya laboratorium lapang dan
desa binaan lewat pengembangan pendekatan ilmu teknologi terbarukan. Ilmu
teknologi terbarukan ini bisa menjadi salah satu jawaban untuk menggali
potensi wilayah maritim Indonesia, khususnya di wilayah selatan Jawa yang
masih sangat berlimpah potensi sumber daya alamnya. Salah satu bentuk
terapan yang telah dikembangkan adalah pemanfaatan teknologi salinasi untuk
masyarakat pesisir dan teknologi mikro hidro untuk kawasan masyarakat pegunungan.
Ke depan Unsada juga akan membina satu desa di wilayah selatan Jawa Barat
yang berhadapan langsung dengan samudra luas.
Pengembangan teknologi terbarukan dan sains terkait setidaknya
bisa pula dijadikan sebagai pijakan riset untuk menggali potensi energi panas
laut di seluruh perairan Indonesia. Mengutip data dari Kementerian (ESDM)
Energi dan sumber daya mineral, potensi energi dari laut Indonesia ini secara
total diprediksi mampu menghasilkan daya sekitar 240 Gigawatt (GW).
Mengubah mindset
Selain menggandeng institusi pendidikan tinggi, hal paling
utama yang harus dilakukan untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim
dunia adalah mengubah mindset atau pola pikir. Mindset yang seharusnya
ditanamkan adalah masa depan Indonesia adalah menaklukkan tantangan di samudra
luas yang hingga kini masih belum tergali secara maksimal.
Potensi ekonomi maritim, terutama di wilayah selatan
Jawa, sudah saatnya direspons dengan mengembangkan sarana infrastruktur penghubung
yang lebih baik. Tak lupa untuk mendorong terwujudnya percepatan pertumbuhan
sekaligus pemerataan ekonomi maka pengembangan program pemberdayaan masyarakat
(people empowerment) berdasarkan aspek pengetahuan (science) menjadi hal mutlak yang harus dilakukan oleh
pemerintah.
Rasanya satu tahun waktu yang tersisa dari pemerintahan
Jokowi, bukanlah hambatan untuk menjalankan ikhtiar tiada henti demi
mewujudkan komitmen bangsa ini sebagai kekuatan poros maritim dunia. Ingatlah,
bangsa ini memiliki historis yang kuat sebagai bangsa pelaut.
No comments:
Post a Comment