Mendekati 72 tahun Indonesia merdeka, kalimat yang pernah didengungkan Ki Hajar Dewantara rasanya masih sangat menggelitik hati. Bapak Pendidikan Indonesia itu telah mengingatkan kepada kita semua bahwa untuk meraih kemuliaan sebuah bangsa hanya dapat dilakukan dengan memperkaya ilmu dan meningkatan mutu pendidikan. Pertanyaan pun muncul bagaimana dengan potret pendidikan Indonesia sekarang?
Pertanyaan semacam itu tampaknya sudah menjadi template setiap kali Indonesia memeringati Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei. Walau sudah berulang kali disampaikan, sayangnya setiap tahun pula kita melihat fakta bahwa kualitas mutu pendidikan Indonesia masih belum bisa move on dari fakta-fakta minor.
Data Indeks Pendidikan UNESCO 2016 menunjukkan bahwa saat ini Indonesia berada di posisi 108 dunia dengan skor 0,603. Secara umum, data itu menunjukkan bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih di bawah Palestina, Samoa dan Mongolia. Data itu juga memperlihatkan bahwa hanya ada sebanyak 44 persen penduduk Indonesia yang menuntaskan pendidikan menengah. Sementara, 11 persen murid gagal menuntaskan pendidikan alias keluar dari sekolah sebelum dinyatakan lulus (DW, 2017).
Dalam analisis Laporan Pembangunan Manusia 2016, Badan PBB Urusan Pembangunan (UNDP) memperlihatkan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPM) ternyata mengalami penurunan 18,2 persen dibanding tahun sebelumnya bila memperhitungkan indikator kesenjangan pendidikan dan harapan hidup saat lahir di Indonesia.
Lantas mengapa potret pendidikan negeri ini tak mampu melakukan rebound dalam urusan kualitas? Salah satu faktor penghambatnya adalah jumlah tenaga pengajar negeri ini yang masih kurang diperhatikan. Utamanya, tenaga pengajar di level pendidikan tinggi. Mengutip berita dari laman Tirto (Maret, 2017), di Indonesia sekarang ini memiliki 134 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 4.225 perguruan tinggi swasta dengan jumlah dosen total mencapai 230.633 orang. Dari jumlah tersebut, tenaga pengajar berstatus lulusan S-1 (strata-1) ada sekitar 53.031 orang (22,99 persen). Sedangkan untuk tingkat S2 sekitar 134.522 (58,33 persen), dan S3 baru ada 26.199 (11,36 persen).
Khusus jumlah tenaga pengajar bergelar doktor di Indonesia ini ternyata mengalami pertumbuhan yang sangat lambat. Sepanjang rentang waktu lima tahun terakhir, jumlah tenaga pengajar bergelar doktor ini tak lebih dari 10 persen. Angka tersebut masih di bawah target 20 persen yang dicanangkan oleh pemerintah.
Lalu jika dikomparasi, dari setiap satu juta penduduk di Indonesia ternyata hanya ada 143 penduduk bergelar doktor. Perbandingan itu sangat jauh jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang berada di kawasan Asia. Malaysia bahkan sudah sulit ditandingi oleh Indonesia. Padahal, negeri Jiran itu pada dekade 1980-an sangat banyak mengirimkan para pelajarnya untuk menimba ilmu di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.
Kini, Malaysia sudah jauh meninggalkan Indonesia. Rasio doktor di Malaysia saat ini adalah dari satu juta penduduknya terdapat 509 doktor. Sementara India, negara dengan jumlah penduduk terbesar kedua di dunia, memiliki komparasi 1.410 doktor dalam setiap satu juta penduduknya. Dari komparasi itu terlihat Indonesia masih belum terlalu serius untuk meningkatkan mutu dan kompotensi para pengajar di level perguruan tinggi.
Permasalahan lain yang membuat sektor pendidikan di Indonesia ini tak kunjung membaik berkaitan juga dengan pemerataan kualitas pendidikan yang ada di Indonesia. Hingga kini, institusi pendidikan terbaik masih terpusat di Pulau Jawa. Kondisi ini memang tak bisa disalahkan karena sepanjang Indonesia merdeka, fokus pembangunan masih bersifat Jawasentris.
Di masa mendatang, masalah pemerataan kualitas pendidikan ini harus lebih difokuskan dan dicarikan solusi terbaiknya. Lembaga-lembaga institusi pendidikan di Jawa mungkin bisa didorong untuk melakukan riset-riset unggulan dengan melibatkan perguruan tinggi di luar Jawa. Model sinergi semacam ini bisa direalisasikan dengan melakukan riset di luar Jawa. Harapannya, dengan kolaborasi riset semacam ini akan semakin mempercepat akselerasi peningkatan mutu tenaga pengajar maupun mutu pendidikan di daerah.
Sementara itu, pemerintah sudah sepatutnya untuk lebih konsisten menjalankan amanat konstitusi UUD 1945, terutama dalam pengalokasian 20 persen dana pendidikan yang berasal dari APBN.
Sejauh ini, jumlah anggaran terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, anggaran pendidikan pada tahun anggaran 2014 mencapai Rp 371,2 triliun. Setelah itu, secara berturut-turut, nominalnya meningkat menjadi Rp 404 triliun (2015) dan Rp 419,2 triliun (2016). Namun pada tahun ini jumlah anggaran pendidikan menurun menjadi Rp 416,1 triliun.
Alokasi anggaran pendidikan itu sejauh ini dilakukan melalui tiga jalur. Pertama, melalui belanja pemerintah pusat. Penggunannya digunakan antara lain untuk penyediaan beasiswa untuk siswa/mahasiswa kurang mampu, rehabilitasi ruang kelas, pembangunan unit sekolah baru dan ruang kelas baru serta pembangunan prasarana pendukung dan pemberian tunjangan profesi guru.
Kedua, melalui transfer ke daerah antara lain untuk gaji pendidik, tambahan penghasilan guru pegawai negeri sipil daerah, dan bantuan operasional sekolah (BOS). Ketiga, melalui pengeluaran pembiayaan yang disebut Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN) yang terdiri atas dana abadi pendidikan dan dana cadangan pendidikan.
Terlepas dari mekanisme pengalokasian anggaran tadi, kita semua harus tetap mencermati apakah sistem pendidikan nasional sebagaimana amanat UU telah terlaksana dengan baik? Untuk mengetahuinya, kita bisa mengacu kepada hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap sejumlah indikator pendidikan pada kurun waktu 2014 hingga 2016. Salah satunya pada angka partisipasi kasar (APK).
APK untuk SD/MI meningkat pada 2014 (108,78) dan 2015 (109,94), namun menurun setahun kemudian (2016 109,20). APK SMP/MTs juga menunjukkan peningkatan dan penurunan yang sama dengan APK SD/MI (2014 88,43, 2015 90,63, dan 2016 89,98). Kemudian APK SMA/MA terus meningkat pada kurun waktu tersebut (2014 73,95, 2015 77,39, dan 2016 80,44). Sementara APK perguruan tinggi 2015 (20,89) menurun dari 2014 (25,76), akan tetapi meningkat kembali pada 2016 (23,44).
APK ini merupakan indikator yang kerap digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan. Namun demikian sebenarnya masih banyak pekerjaan rumah, terutama di bidang pendidikan dasar yang meliputi tingkat SD/MI. Nominal 109,20 persen per 2016 menunjukkan masih ada 9,20 persen dari penduduk yang tidak berusia 7-12 tahun bersekolah di SD/MI. Jumlah ini tentunya tidak sedikit.
Jadi, dengan segala ragam persoalan yang masih membelit dunia pendidikan negeri ini maka sudah sepatutnya semua pihak bisa saling bersinergi untuk memperbaiki masalah. Mindset sektoral sudah saatnya dipupus untuk membawa negeri ini menuju arah yang lebih baik. Untuk menggapainya, rasanya sektor pendidikan itu harus dibenahi oleh kita semua.
No comments:
Post a Comment