"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". —Al-Quran Surat Ibrahim Ayat 7.
Selama 350 tahun Indonesia dijajah oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang menduduki bumi pertiwi ini, apa yang sesungguhnya diinginkan dari Indonesia? Saat itu, Belanda mengampanyekan propaganda melalui 3G (Gold, Glory, dan Gospel). Marilah sejenak saja kita mengingat kembali ke masa lalu tentang esensi program 3G tersebut. Sedikit dan banyak, esensi dari pesan-pesan yang dibawa serikat dagang Belanda bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) cukup memengaruhi bangsa Indonesia di masa sekarang. Bertahun-tahun lamanya, sejak wilayah Laut Tengah menjadi sebuah pusat perdagangan internasional, di sana terjadi pusat pembauran antara pedagang dari wilayah belahan bumi barat dan timur.
Selama 350 tahun Indonesia dijajah oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang menduduki bumi pertiwi ini, apa yang sesungguhnya diinginkan dari Indonesia? Saat itu, Belanda mengampanyekan propaganda melalui 3G (Gold, Glory, dan Gospel). Marilah sejenak saja kita mengingat kembali ke masa lalu tentang esensi program 3G tersebut. Sedikit dan banyak, esensi dari pesan-pesan yang dibawa serikat dagang Belanda bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) cukup memengaruhi bangsa Indonesia di masa sekarang. Bertahun-tahun lamanya, sejak wilayah Laut Tengah menjadi sebuah pusat perdagangan internasional, di sana terjadi pusat pembauran antara pedagang dari wilayah belahan bumi barat dan timur.
Salah satu
barang atau komoditi utama saat itu yang diperdagangkan adalah rempah-rempah.
Biasanya pedagang dari barat, mendapatkan rempah-rempah dengan harga yang lebih
terjangkau. Namun, setelah wilayah Konstantinopel jatuh ke tangan Kekuasaan
Turki Utsmani, akses bangsa-bangsa Eropa mulai sulit mendapat rempah-rempah di
wilayah Laut Tengah. Dan kondisinya menjadi sangat tertutup untuk komoditi yang
satu ini.
Akibat
kelangkaan rempah-rempah di pasaran, harganya menjadi melonjak tinggi.
Khususnya di pasar Eropa. Akibatnya hal itu mendorong mereka semua untuk
berusaha dengan cara mencari wilayah-wilayah negeri penghasil rempah- rempah.
Kebetulan, para penghasil rempah itu berada di bagian bumi sebelah timur.
Niatan itu pun mendapat dukungan dari pemerintah dan para ilmuwan setempat.
Sejarah
mencatat, Spanyol dan Portugis menjadi dua negara nenek moyang yang memiliki
daya jelajah ekspedisi sampai menemukan wilayah baru di bumi bagian timur.
Portugis adalah negara yang membuka jalan bagi Belanda dan Inggris untuk masuk
ke Kepulauan Nusantara.
Kepulauan yang pada masa itu dikenal sebagai penghasil rempah-rempah terbaik. Tapi, tujuan dari ekspedisi mereka bukan hanya untuk mencari rempah-rempah dan meraup untung semata yang masuk dalam program Gold mereka. Seperti mencari sumber daya alam lainnya -- perak, emas, tembaga, dan lainnya.
Di balik itu terdapat pula semangat Glory yang berisi tentang kejayaan, gengsi, superioritas, dan kekuasaan terhadap wilayah-wilayah baru yang mereka duduki. Inilah yang sesungguhnya turut mewarnai ekspedisi VOC di Indonesia.
Lalu tak lupa, mereka pun mendapat tugas suci untuk menyebarkan agama melalui gerakan Gospel. Dari ketiga dasar ekspedisi itulah yang kemudian membuat VOC menjadi betah di Indonesia 350 tahun.
Setali tiga uang, Jepang pun tak mau kalah. Tujuan utama pendudukan Jepang atas Indonesia adalah:
- Menjadikan Indonesia sebagai daerah penghasil dan penyuplai bahan mentah dan bahan bakar bagi kepentingan industri Jepang,
- Menjadikan Indonesia sebagai tempat pemasaran hasil industri Jepang, karena jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak,
- Menjadikan Indonesia sebagai tempat mendapatkan tenaga buruh yang sangat banyak dengan upah yang relatif murah.
- Baca juga: Japan’s Occupation of Java in the Second World War
Pengalaman dari penjajahan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung tempat seseorang tinggal dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan tanpa alasan dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya.
Kepulauan yang pada masa itu dikenal sebagai penghasil rempah-rempah terbaik. Tapi, tujuan dari ekspedisi mereka bukan hanya untuk mencari rempah-rempah dan meraup untung semata yang masuk dalam program Gold mereka. Seperti mencari sumber daya alam lainnya -- perak, emas, tembaga, dan lainnya.
Di balik itu terdapat pula semangat Glory yang berisi tentang kejayaan, gengsi, superioritas, dan kekuasaan terhadap wilayah-wilayah baru yang mereka duduki. Inilah yang sesungguhnya turut mewarnai ekspedisi VOC di Indonesia.
Lalu tak lupa, mereka pun mendapat tugas suci untuk menyebarkan agama melalui gerakan Gospel. Dari ketiga dasar ekspedisi itulah yang kemudian membuat VOC menjadi betah di Indonesia 350 tahun.
Setali tiga uang, Jepang pun tak mau kalah.
- Menjadikan Indonesia sebagai daerah penghasil dan penyuplai bahan mentah dan bahan bakar bagi kepentingan industri Jepang,
- Menjadikan Indonesia sebagai tempat pemasaran hasil industri Jepang, karena jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak,
- Menjadikan Indonesia sebagai tempat mendapatkan tenaga buruh yang sangat banyak dengan upah yang relatif murah.
- Baca juga: Japan’s Occupation of Java in the Second World War
Keyakinan
itulah yang telah dipahami secara bersama di negeri ini. Dari semua itu,
terdapat pula benang merah terhadap negara-negara jajahan yang sulit untuk
maju. Kesamaan itu tercermin lewat lima karakteristik sebagai berikut :
a) Pernah menjadi negara jajahan bangsa lain (Taylor dan Hudson, 1972,
Bertocchi, 1996, Mauro 1997, Todaro, 2002)
“The European
colonial powers has a dramatic and long-lasting impact on the economies and
political institutional structures of their African and Asian colonies.”
b) Memiliki sumber daya alam melimpah (Sachs dan Warner, 2001, Hodler,
2004)
“The curse of
natural resources: countries with great natural resource wealth tend
nevertheless to grow more slowly than resource-poor countries.
Resource-abundant countries tended to be high-price economies and, perhaps as a
consequence, these countries tended to miss-out on export-led growth”.
c) Memiliki banyak etnis (Sheifer dan Vishny 1993, Mauro 1994, Todaro,
2002)
“Clearly, the
greater the ethnic and religious diversity of a country, the more likely it is
that there will be internal strife and political instability.”
d) Tengah mengalami masa transisi dari pemerintah otoriter kepada
demokrasi dan ekonomi pasar (Patrick Glynn, Stephen J Kobrin, dan Moises Naim,
1999).
“Almost all
developing countries are situated in tropical or subtropical climatic zones. It
has been observed that the economically most successful countries are located in
the temperate zone.”
Jika melihat
kelima karakteristik bangsa-bangsa yang sulit maju tersebut maka tak salah
kalau menyebut bangsa Indonesia itu masuk di dalam karakteristik tersebut.
Semua faktor yang ada di atas itu, kalau tidak dikelola dengan serius, seakan
menasbihkan bangsa ini benar-benar sulit untuk maju.
Psikologi terbalik
Sejak era
reformasi 1998 silam, sampai kini Indonesia masih belum mampu untuk keluar dari
berbagai krisis multi-dimensi. Di antara sekian banyak krisis yang membelit
itu, isu-isu keagamaan sampai kini masih menjadi hot issue yang paling rentang
untuk memecah belah kerukunan bangsa ini. Perpecahan itu dapat berwujud pada
disharmoni antarumat beragama di negeri ini.
Sebelum
mengulas lebih jauh, penulis ingin mencoba membalik bahwa kelima karakteristik
itu sesungguhnya bisa menjadi bahan kekuatan bagi negara-negara yang memiliki
karakteristik tersebut. Memakai psikologi terbalik, di mana sebab musabab
sulitnya suatu negara maju, menjadi modal yang amat penting untuk negara
tersebut maju dan besar, termasuk Indonesia di dalamnya.
Jika dibedah
lebih jauh, sebenarnya Indonesia memiliki kapasitas untuk menjadi bangsa maju
yang sebenar-benarnya maju. Bahkan, sudah seharusnya kita bisa menjadi penopang
berbagai negara yang tidak memiliki anugerah sumber daya alam seperti kita.
Bahkan jika boleh berandai-andai, Amerika dan negara-negara Eropa itu
sesungguhnya bisa ditopang oleh kita pada saat ini. Bukti sejarah seharusnya
sudah cukup untuk membuat kita sadar. Ini terlihat betapaVOC itu sampai begitu
repot untuk menjajah bangsa ini dengan berbagai sistem dan propaganda yang
dilakukan. Semua itu pada ujungnya hanya bertujuan untuk meraup keuntungan atas
sumber daya alam Indonesia yang berlimpah.
Hal yang sama
juga dilakukan oleh Jepang. Negeri Matahari Terbit itu datang ke Indonesia
karena mereka membutuhkan biaya untuk berperang dan kebutuhan-kebutuhan
ekonomis lainnya. Jepang pun rela untuk repot menjajah Indonesia yang ujungnya
juga sama, yakni mengeruk hasil alam lalu diperdagangkan untuk meraih
keuntungan.
Terlepas dari
penjajahan yang terjadi di Indonesia, pernahkah kita berpikir sejenak mengapa
dahulu kala negara-negara kaya di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Qatar,
Kuwait, Uni Emirat Arab tidak terjajah oleh bangsa lain? Menurut hemat penulis,
ketiadaan hasrat bangsa Eropa untuk melakukan aneksasi ke wilayah Timur Tengah
karena kondisi geografis alam. Di sana, semua wilayahnya lebih banyak dihiasi
oleh gurun pasir yang tandus. Dengan
pemahaman seperti itu, para penjajah yang umumnya berasal dari Eropa itu tidak
melihat adanya potensi sumber daya alam yang cukup untuk menjajah negara-negara
di Timur Tengah. Sementara hal berbeda terjadi dengan Indonesia. Dengan
kekayaan alamnya yang berlimpah, tak sedikit negara yang rela untuk saling
berebut untuk menjajah negeri ini. Artinya, Indonesia itu begitu menarik untuk
dieksploitasi kekayaannya oleh negara lain. Sumber daya alam kita begitu seksi
yang akhirnya menggoda para pembesar Eropa pada masa lalu.
Lantas sejak
dahulu hingga sekarang, bagaimana kabarnya dengan diri kita? Sesudah 74 tahun
negeri ini merdeka, apa yang sudah kita rasakan? Harus diakui bahwa sampai kini
Indonesia masih belum lepas dari jeratan sebagai negara yang miskin. Sampai kini
, masih banyak penduduk di negeri ini yang masih sulit untuk mendapatkan
rezekinya dengan cara menggali dan memaksimalkan ekonomi yang bersumber dari
alam kita. Bahkan menjadi lebih ironis, dari tahun ke tahun, negeri ini masih
saja mengharapkan belas kasih dari negara lain maupun lembaga internasional
lainnya seperti IMF untuk membangun negara yang berlimpah kekayaan alamnya.
Kita seperti sudah membuang malu untuk selalu meminta dan memohon agar
dikucurkannya investasi asing agar terwujudnya pembangunan Indonesia.
Dengan adanya
fakta semacam itu, boleh dibilang secara mental dan pola pikir – baik itu
pengelola negara maupun masyarakat Indonesia – belum memiliki jiwa-jiwa
entrepreneurship yang tangguh untuk menjadikan negeri ini berdaulat sebagaimana
diimpikan para founding father negeri ini. Apakah situasi ini menjadi cerminan
bahwa sebagai sebuah negara kita masih kurang bersyukur, kurang berdoa, dan
kurang berperilaku baik kepada Tuhan yang pemilik negeri ini?
Berkaitan
dengan hal itulah, penulis berpandangan bahwa masalah pokok dari sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa itu bukanlah tentang isu-isu keretakan toleransi
antarumat beragama. Bukan sama sekali. Sekali lagi, kita jangan mudah terkecoh
dengan provokasi melalui berita-berita yang sudah bercampur antara hoax dan
fakta. Perlu digarisbawahi bahwa esensi dari masalah sila pertama di negeri ini
adalah ketidakmampuan kita untuk bersyukur terhadap anugerah yang telah
diberikan Tuhan untuk bangsa ini. Dalam pandangan yang religius penulis
menyatakan sesungguhnya Tuhan telah menegur bangsa ini dengan cara memberikan
berbagai kesempitan kepada seluruh penduduk negeri ini. Terutama terkait dengan
kesempitan mental, moral, dan pola pikir. Ketiga output dari kurangnya rasa
bersyukur itulah yang pada akhirnya membawa Indonesia ke dalam lilitan krisis
multi-dimensi yang sampai kini masih dirasakan.
Lantas
mengapa sampai kini Indonesia masih begitu sulit untuk melepaskan dirinya dari
jeratan krisis multi-dimensi? Dalam penilaian penulis, krisis ini terjadi karena
diagnosis yang diberikan para ‘dokter’ kepada negeri ini mengalami kekeliruan.
Akibatnya, antara gejala yang muncul dan penyebab primer dari penyakit itu
menjadi tidak selaras. Ini pun berdampak pada proses pemulihan terhadap
penyakit -- dalam hal direpresentasikan oleh krisis multi-dimensi.
Lalu mengapa
hal ini bisa terjadi? Semua itu terjadi karena kebanyakan vonis ‘dokter’ itu
berasal dari luar Indonesia. Padahal, boleh jadi pada saat sebelum Indonesia
merdeka, penyakit yang diderita oleh negeri ini hanya berupa demam saja. Gejala
yang dialami negeri ini sesungguhnya bukanlah penyakit akut yang ujungnya
menelurkan komplikasi atau krisis multi-dimensi seperti yang terjadi sekarang
ini.
Jika
diilustrasikan, saat dahulu nenek moyang kita sudah bisa membuat santan, tempe
bacem, dan lainnya sementara negara-negara Eropa hanya bisa membakar daging
saja. Bisa kita lihat, sejarah peradaban nenek moyang kita sesungguhnya jauh
lebih unggul dari negara-negara di Eropa. Namun apa yang terjadi detik ini?
Kita seakan tertinggal jauh. Mengapa? Semua ini bisa terjadi karena Indonesia
dan masyarakatnya sangat mudah
dipengaruhi, didongengi, dan diberi “angin surga” bagi siapapun yang ingin
melihat Indonesia untuk tidak maju.
Jadi memasuki
74 tahun kemerdekaan negeri ini, sudah sewajarnya kalau kita bersyukur.
Bagaimana caranya? Seperti yang tadi sudah disampaikan maka marilah kita putar
balik saja lima karakteristik negara sulit maju itu menjadi lima modal utama
untuk membawa negeri ini menjadi maju. Detailnya, kira-kira bisa seperti ini:
Tidak berkecil hati sebagai bekas negara jajahan
Kolonialisme
adalah bentuk penjajahan yang dilakukan suatu bangsa terhadap bangsa lain.
Biasanya proses kolonialisme ini melakukan eksploitasi sumber daya alam di
bangsa yang dijajah. Baik itu sumber kekayaan alam dan sumber daya manusia.
Zaman
kolonialisme pernah menjadi catatan kelam terhadap sejarah bangsa Indonesia.
Mulai dari Portugis, Inggris, Spanyol, Belanda, dan Jepang. Belanda termasuk
bangsa yang menjajah Indonesia cukup lama, yakni 350 tahun. Dampak yang
ditinggalkan akibat penjajahan ini ada yang berdampak positif dan negatif.
Salah satunya pernah disebut oleh founding father bangsa ini, Bung Karno. Bung
Karno menyatakan bahwa dampak negatif kolonialisme di Indonesia itu telah
mengakibatkan terjadinya penderitaan secara psikis dan kesengsaraan fisik;
pengambilan hak rakyat Indonesia secara paksa; kemerosotan dalam bidang sosial
ekonomi; dirampasnya sumber daya alam, terutama rempah-rempah; hilangnya harta
benda dan jiwa; dan lain sebagainya.
Namun, tidak
semua efek kolonialisme di Indonesia itu memberikan dampak yang buruk. Jika
kita bisa lebih cerdas memaknai ‘takdir’ mengapa bangsa ini dahulu terjajah
maka kemungkinan besar kita telah mendapatkan hal-hal seperti:
-
Adanya reformasi bidang pendidikan lokal yang disebabkan hubungan
antara sarjana-sarjana Belanda yang tidak memiliki kepentingan dan penajajahan.
-
Mewariskan peraturan perundang-undangan.
-
Mendapat kosakata serapan baru dari negara yang menjajah Indonesia.
-
Peninggalan berbagai bangunan zaman kolonial, seperti pabrik gula,
jalan raya, benteng, dan sekarang banyak yang kini telah beralih fungsi menjadi
museum. Museum dan bangunan tua itu tentunya bisa menjadi media pembelajaran
sejarah bagi anak Indonesia pada masa kini.
-
Memiliki pengalaman berkebun karena dulu petani Indonesia pernah
mengikuti program tanam paksa.
-
Dll.
Dengan adanya
dua dampak yang dihasilkan dari praktek kolonialisme di Indonesia tadi maka
yang dibutuhkan sekarang ini adalah bagaimana kita memberikan respons. Kita
ingin bangsa ini maju atau hanya terus-menerus beralibi bahwa Indonesia sudah
menjadi bangsa yang tak mungkin maju. Sebagai bentuk pengamalan yang kita
lakukan dari sila pertama maka kita harus terus berikhtiar. Ikhtiar itu dilandasi
pada kesadaran bahwa penjajah hadir di bumi pertiwi ini hakikatnya agar
mengingatkan kita agar jangan terlena dengan segala potensi alam yang telah
diberikan oleh Tuhan sebagai pemilik Indonesia. Ikhtiar lainnya bagaimana
menumbuhkan kesadaran bahwa negara ini merupakan negara besar, kaya, dan
berlimpah dengan kekayaan alamnya. Semua itu, tentunya harus diperkuat dengan
kesadaran dalam memaknai tujuh dekade kemerdekaan negeri ini dengan mengasah
rasa, mental, dan pikir untuk tidak lagi menjadi negara terjajah. Penulis rasa begitu keliru jika kita tidak
memerdekakan ketiga hal tersebut. Hingga kini, sumber daya alam yang dimiliki
negeri ini masih menunggu tuannya untuk diurus, dikelola, dan dikembangkan
untuk kemaslahatan warga yang berada di atas bumi pertiwi ini. Tentunya, segala
potensi itu harus berujung pada terwujudnya kesejahteraan, bukan dengan
“ikhlas” memberi semua itu pada tangan asing. Untuk itu, bersyukur dan terus
berikhtiar untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berdaulat.
Mengelola sumber daya alam tanpa campur tangan asing
Pada poin
pertama tadi, sudah dibahas tentang “banyak enaknya” kita sebagai rakyat
Indonesia yang terjajah di zaman kolonial. Sekarang, sudah saatnya seluruh
elemen bangsa untuk merapatkan barisan. Kita perlu merapatkan barisan agar
lebih jeli dan cerdas dalam mengelola sumber kekayaan alam agar bisa dinikmati
oleh seluruh rakyat Indonesia.
Sudah cukup
kiranya mendengar slogan sarkas bahwa “Indonesia adalah negara bodoh”. Sudah
saatnya kita menjawab tantangan tersebut dengan menanamkan kesadaran
bahwa,“kita dulu pernah keliru”. Keliru apa? Utamanya, dalam mengelola sumber
daya alam yang dimiliki negeri ini. Dulu sudah terlalu banyak pengaruh dan
campur tangan asing dalam mengelola sumber daya alam di negeri ini. Contoh yang
sampai kini masih sulit dialpakan adalah kekayaan bangsa di tanah Papua yang
masih dikelola oleh perusahaan asal Amerika Serikat, Freeport.
Bagaimana
solusi untuk merealisasikan bentuk syukur bangsa kepada Tuhan Yang Maha Esa --
zat abstrak yang telah menganugerahi kekayaan alam Indonesia dari ujung barat
hingga ujung timur? Sebagai bentuk syukur dan realisasi adalah dengan cara
mengamalkan sila pertama. Kekayaan sumber alam di Indonesia itu memiliki nilai
manfaat untuk rakyat dan negara. Dengan catatan, pengelolaan sumber daya alam
ini harus dikelola secara murni oleh rakyat Indonesia, bukan dengan
mengandalkan tangan-tangan asing yang lebih berorientasi mengeruk untuk
kepentingan mereka. Komitmen inilah yang mestinya diperkuat. Cara yang bisa
dilakukan oleh pengelola negeri ini dengan cara:
-
membuka lapangan pekerjaan untuk kesejahteraan warga negara;
-
meningkatkan pendapatan melalui ekspor hasil alam;
-
membantu pemenuhan penduduk sebagai bahan baku dan energi.
Rasanya cukup
tiga hal itu saja yang perlu dilakukan secara bersama-sama. Setiap daerah atau
provinsi di Indonesia tentunya memiliki kekayaan alam beraneka ragam.
Potensi-potensi itu hanya perlu diperbaiki pengelolaannya dan tidak lupa
diperhatikan pula tatakelola ekosistem di sekitarnya. Ini diperlukan supaya
kekayaan alam itu tetap ada dan terus berlimpah buat generasi di masa depan.
Nilai dan karakter setiap etnis sebagai kekayaan bangsa
Siapa yang
tidak mengenal Indonesia dengan berbagai keragaman adat istiadat, budaya, dan
bahasa? Indonesia adalah salah satu negara besar yang diakui dunia
internasional dengan latar belakang kemajemukannya. Semua perbedaan itu
harusnya dapat menjadi rahmat untuk kita sebagai penghuni bangsa ini. Para
pendiri negeri ini telah menghadirkan keragaman itu dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu.
Lahirnya
semboyan itu seakan mempertegas bahwa Indonesia adalah negara yang heterogen.
Sebagai negara kepulauan, mulai dari Sabang hingga Merauke, semuanya menyimpan
potensi atas kebesaran dan kekuatan bangsa ini. Siapa bilang multietnis di
Indonesia hanya menjadi hambatan, sumber perpecahan, dan segala bentuk
perbedaan lainnya? Mungkin pola pikir seperti itu harus sama-sama disingkirkan.
Sudah saatnya keragaman yang dimiliki itu menjadi rahmat bagi terwujudnya
kemajuan Indonesia, terutama di bidang sosial budaya serta ekonomi kreatif.
Dari hadirnya
keragaman tersebut, penulis melihat adanya sejumlah keuntungan bagi Indonesia.
Hal itu tercermin,
-
sebagai contoh potret toleransi dalam hidup berbangsa dan bernegara;
-
sebagai modal kekayaan bangsa;
-
menjadi daya tarik tersendiri bagi turis-turis mancanegara;
-
mampu meningkatkan pendapatan negara;
Lihatlah,
betapa banyak keuntungan yang bisa Indonesia peroleh dari sekian banyak
keragaman yang ada. Komitmen dan konsistensi itulah yang harusnya dipupuk
secara terus menerus. Dari hal itu, penulis merasa bahwa Indonesia memiliki
modal cukup besar untuk menjadi negara maju. Perbedaan suku, ras, dan agama
yang tersebar di seluruh tanah air tentunya menjadi kekayaan yang sangat
berharga. Lalu, dengan adanya bentuk keragaman ini, semakin mampu mengokohkan
Indonesia selama semua provinsi yang ada di dalamnya bekerja sama, mengelola,
serta mengembangkan seluruh potensi tersebut. Jika semua itu dikelola, tentunya
bisa menjadi potensi yang sekarang ini dikenal dengan program Ekonomi Kreatif.
Menjalani demokrasi dan menghidupkan ekonomi kreatif
Demokrasi
diambil dari bahasa Yunani, Demokratia yang berarti kekuasaan rakyat. Demokratia
dibagi menjadi dua kata, Demos yang memiliki arti rakyat. Sedangkan, Kratos
yang mempunyai arti kekuasaan dan kekuatan.
Demokrasi
mencakup kondisi budaya, ekonomi, dan sosial yang dalam kegiatan tersebut
terjadi praktik kebebasan politik baik secara bebas dan setara. Secara
pengertian umum, demokrasi adalah salah satu bentuk pemerintahan yang setiap
warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang akan
memberikan efek dalam kehidupan mereka. Dalam artian yang lain, demokrasi merupakan
bentuk kekuasaan tertinggi yang dipegang oleh rakyat.
Sama halnya
dengan Indonesia yang menganut sistem demokrasi Pancasila. Kala di sekolah
dulu, kita tentunya pernah belajar tentang semboyan Dari Rakyat, Oleh Rakyat,
dan Untuk Rakyat. Setiap sistem dan bentuk pemerintahan, apapun itu, pasti
memiliki kelebihan dan kekurangan. Indonesia selama 32 tahun pada masa Orde
Baru, sesungguhnya telah menjalani karakter pemerintahan yang cukup otoriter.
Lalu bertransisi ke era reformasi, secara mental dan psikologis, peralihan itu
justru memberikan dampak negatifnya. Hal paling sederhana, misalnya, adanya
sikap kebablasan dalam berpendapat di muka umum. Saat ini, sering kali kita
temukan, umumnya di media sosial, bermunculan komentar-komentar negatif yang cenderung
tanpa dasar argumentasi. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut dan
berlarut-larut, tentunya akan dapat membahayakan bagi kondisi bangsa.
Namun, jika
kita berorientasi dengan melihat sisi negatifnya saja, perlu juga kita telisik
dengan berdemokrasi yang baik, tentunya kondisi ini tetap memiliki nilai-nilai
positif. Indonesia telah menganut sistem demokrasi selama 74 tahun, mulai dari
kali pertama negeri ini merdeka hingga detik ini. Mulai dari era Demokrasi
Terpimpin yang dijalankan oleh Presiden Ir. Soekarno sampai era Demokrasi
Pancasila yang digunakan Soeharto selama 32 tahun. Sistem demokrasi yang mulai
berjalan dari tahun 1998 hingga sekarang. Sistem demokrasi ini dapat dilihat
dengan dilakukannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Legislatif
(Pileg), dan Pilpres yang dilakukan secara langsung. Semua itu telah dijalankan
secara aman, tertib, dan serentak.
Sistem
demokrasi Indonesia mengalami jatuh bangun dan proses panjang, yang hingga saat
ini masih berdiri kokoh sebagai bentuk pemerintahan Indonesia. Sampai-sampai
lembaga penelitian di Amerika Serikat, Freedom House, tak salah mereka
menjuluki Indonesia sebagai negara penganut demokrasi tersukses di dunia hingga
saat ini.
Selain modal
positif dari bentuk pemerintahan, Indonesia juga memiliki banyak potensi sumber
daya yang bisa dijadikan penggerak potensi ekonomi melalui usaha ekonomi
kreatif. Dari ujung barat hingga ujung timur, Indonesia sungguh kaya untuk
menumbuhkan usaha-usaha kreatif. Ekonomi kreatif dalam bauran pelaksanaannya
cukup banyak bidang industri profesi yang terlibat. Seperti Usaha Mikro Kecil
dan Menengah (UMKM), industri seni dan kebudayaan, industri perfilman, industri
media (televisi, radio, digital), industri kerajinan tangan (handicraft),
indutri literasi (buku), gerakan entrepreneurship yang banyak digawangi
anak-anak muda, dan serta industri-industri kreatif lainnya.
Dan, apakah
itu telah disadari atau tidak, ekonomi kreatif pada masa sekarang ini telah
menjadi raja di era digital. Sudah tak terhitung berapa banyak negara-negara
maju yang semakin fokus untuk mengembangkan potensi ekonomi kreatif. Mereka
paham, era basis ekonomi ke depan akan dikuasai oleh generasi milenial yang
lebih melek terhadap teknologi digital, bukan lagi generasi baby boomers yang
gagap terhadap kemajuan teknologi digital.
Semua itu
tentunya menjadi keuntungan tersendiri bagi Indonesia dengan adanya sumber daya
alam berlimpah dan kebudayaannya yang beragam. Jadi, sudah seharusnya Indonesia
pada masa kini bisa lebih “melek” lagi menatap era yang serba dinamis seperti
sekarang. Semua sektor dalam sendi-sendi tujuan bangsa ke depan harus
disesuaikan dengan perkembangan zaman. Jangan lagi, kita terlihat buta.
Mengembangkan ekonomi kreatif mampu menjadikan Indonesia sebagai negara
trendsetter, berpindah dari follower yang selama ini menjangkiti diri kita
sebagai rakyat Indonesia.
Ikhtiar itu
sudah dibuktikan dengan lahirnya Go-Jek serta Traveloka. Lalu, hal serupa juga
makin banyak tumbuh di industri perfilman Indonesia yang semakin melahirkan
karya-karya bermutu. Bahkan, kita juga patut berbangga dengan eksotisme batik
nusantara yang makin terkenal selaras dengan makin membaiknya promosi
pariwisata negeri ini. Komitmen untuk mendorong sektor pawisata ini juga telah
dipertegas oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya. Mengutip laporan Kompas.com
belum lama ini, bagaimana kampanye Visit Wonderful Indonesia (VIWI) 2018 telah
dikemas secara memikat melalui strategi penjualan dengan menghadirkan
paket-paket wisata menarik dari 18 destinasi unggulan di Indonesia. Ketua VIWI
2018, Haryadi Sukamdani, mengatakan program VIWI ini menjadi program konversi
dari branding menjadi selling atau penjualan produk wisata.
Dari
pendekatan itu telah terlihat bahwa pemerintah sudah fokus kepada tahap
pengembangan ekonomi kreatif yang telah dijadikan garda depan oleh pemerintah
untuk menggerakkan potensi ekonomi nasional. Sekarang ini, rasanya kita tinggal
bersinergi secara bersama-sama dengan pemerintah untuk bisa membantu menjadikan
Indonesia lebih baik di masa mendatang.
Memanfaatkan letak Indonesia di sekitar khatulistiwa
Tiada yang
menampik bahwa sumber kekayaan alam di Indonesia ini sangat dipengaruhi oleh
letak geografisnya. Indonesia menjadi salah satu negara yang dilewati garis
katulistiwa. Dampak baik dari hal tersebut memberikan hal sangat beragam. Di
antaranya:
-
Memiliki keragaman jenis flora dan fauna,
-
Memiliki lahan pertanian yang subur,
-
Memiliki hasil pertanian yang bisa menyokong pendapatan negara,
-
Memiliki lokasi wisata yang cukup populer dengan keindahan alamnya,
-
Memiliki curah hujan yang cukup tinggi,
-
Banyak hutan tropis,
-
Suhu udara cenderung hangat hingga panas,
-
Tidak memiliki musim dingin yang berlebihan.
Kita
perhatikan sejenak bahwa banyak sekali keuntungan yang mampu dimaksimalkan oleh
bangsa ini. Terutama pada sektor pariwisata dan pertanian. Siapa yang tak kenal
Lombok, Bali, Raja Ampat, dan beberapa tempat destinasi lainnya di negeri ini.
Semua lokasi wisata itu tentunya bisa membuat Indonesia mendapatkan keuntungan
secara ekonomi dengan hadirnya turis-turis mancanegara ke lokasi-lokasi
tersebut. Ditambah lagi dengan sektor pertanian. Belanda dahulu begitu
mati-matian menjajah Indonesia untuk mengeruk potensi alamnya. Terutama untuk
bisa mengambil rempah-rempah dari negeri ini. Sekarang Indonesia makin miris.
Fakta yang tersaji lewat pemberitaan media memperlihatkan bahwa banyak hasil
pertanian yang dikonsumsi penduduk negeri ini ternyata komuditas impor dari
negara tetangga. Apakah semua ini sudah kita sadari? Mulai dari poin pertama
kita pernah dijajah, hingga takdir Tuhan menempati Indonesia di letak geografis
yang sesungguhnya bernilai cukup strategis. Dengan fakta dan potensi yang
dimiliki itu, seharusnya negeri ini sudah mapan sejak dahulu. Seharusnya, kita
perlu bersyukur dan tidak menyebut Indonesia sebagai negara miskin. Tapi,
situasi pada hari ini memberikan pelajaran betapa kita begitu amnesia dengan
potensi negeri sendiri. Lalu betapa kelirunya kita yang sering berpangku tangan
dengan negara yang secara kekayaan alam, tidak berlimpah-limpah seperti
Indonesia. Pekerjaan berat memang sudah menanti anak bangsa ini. Bukan hanya
pemerintah, namun kita semua sebagai anak negeri di bumi pertiwi.
Kelima hal
sederhana ini, sekiranya jika mau dijalani, khususnya bagi diri kita sendiri,
dan umumnya sebagai kesatuan bangsa. Penulis yakin permasalahan kita dalam sila
pertama yang merupakan fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara, akan
teratasi.
Saling menyokong
Namun tak
etis rasanya, jika hanya membahas fondasi di sila pertama saja. Keempat sila
berikutnya, tentunya mampu untuk menyokong Indonesia menjadi lebih baik.
Tentunya, dengan penerapan sila pertama yang benar. Istilahnya, bisa dikatakan,
sila pertama itu menjadi gerbong bagi kesuksesan Indonesia. Jangan terkecoh
pada isu-isu perpecahan antarumat beragama saja. Tapi, seperti yang sudah
disampaikan bahwa jika diilustrasikan maka Indonesia itu hanya demam, bukan
sakit parah. Oleh karenanya, penanganan sakit demam itu jangan diterapkan
sebagaimana halnya penanganan penyakit kanker. Rasanya, akan terlalu over dan
akan bisa menjadi bumerang. Indonesia tidak bodoh, hanya saja keliru sedikit
dalam menangani dan mengelola kekayaan yang sudah Tuhan Yang Maha Esa berikan
kepada negeri ini. Akhirnya, tercermin Indonesia menjadi bangsa yang kufur
nikmat dan diberi kesempitan dalam mencari solusi bagi krisis yang sedang
melanda. Inilah sebenarnya pokok masalah kita, hanya ada syukur dan tentu kufur
sebagai lawannya. Sebagai bangsa, kita perlu jujur saat ini berada di posisi
apa.
Kuncinya,
kelima karakteristik modal bangsa yang sudah Allah Swt berikan, dan sudah
tertoreh dalam perjalanan bangsa ini, adalah bersyukur. Selebihnya yang harus
dilakukan adalah menggunakan tenaga, pikiran, dan mengubah mental bangsa, mulai
dari diri sendiri, lingkungan keluarga,
hingga skala nasional. Berbicara karakter keluarga, nanti akan penulis bahas
secara mendalam pada bab selanjutnya dari buku ini.
Secara
mendalam, berbagai karakteristik di atas, akan dibahas lebih mendalam dengan
menyesuaikan sila-sila selanjutnya. Tentunya, dengan berbagai bentuk kendala
dan krisis multi-dimensi yang sedang melanda negeri tercinta Indonesia.
Sekali lagi
penulis bertanya untuk diri sendiri dan Anda semua, setelah 74 tahun, kemana
syukur itu berada di negeri ini?