Wednesday, 15 August 2018

BANGKITLAH INDONESIAKU



Tahun ini Indonesia telah memasuki 73 tahun usia kemerdekaan. Selama rentang waktu tersebut, sudahkah negeri ini bergerak menuju cita- cita besar para founding father yang menginginkan Indonesia sebagai bangsa besar, sekaligus bangkit menghadapi tantangan zaman? Inilah pertanyaan refleksional yang akan terus menyertai perjalanan negeri yang kini sudah dipadati 265 juta jiwa penduduk atau telah tumbuh empat kali lipat dibanding jumlah penduduk pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945. 

Jika melihat komposisi penduduk serta kemajuan teknologi, tantangan yang dihadapi Indonesia pada masa lalu dan masa kini, tentunya sudah sangat berbeda jauh. Perbedaan itu pula yang membuat makna kemerdekaan bangsa ini menjadi sangat penting untuk dipertegas kehadirannya.

Apalagi, sejak 2015 Indonesia sudah memasuki sistem perdagangan terbuka bernama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Semangat besar dari gagasan hadirnya MEA ini membentuk pasar tunggal dan menciptakan kondisi yang kompetitif antarnegara di kawasan Asia Tenggara. Inilah tantangan eksternal buat bangsa yang tak bisa lagi ditolak.

Selain tantangan ekonomi yang borderless di kawasan Asia Tenggara, negeri ini juga masih menghadapi tantangan domestik yang tak kalah pelik. Salah satu yang utama adalah suksesi kepemimpinan nasional. Sebagaimana diketahui bersama bahwa periode duet kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sudah mendekati pengujung masa pemerintahannya. Pekan lalu, dua pasang calon presiden dan wakil presiden baru saja mengikrarkan diri untuk bersaing menjadi pemimpin Indonesia periode 2019-2024. 

Kontestasi politik ini tentu menjadi hal yang tak bisa diabaikan untuk membawa bangsa ini bergerak menuju kebangkitannya sebagai bangsa besar sebagaimana kejayaan di masa kerajaan-kerajaan yang telah membangun peradaban nusantara. Mampukah dalam lima tahun ke depan Indonesia bisa bangkit atau justru bangsa ini akan lenyap sebagaimana ramalan dalam novel Ghost Fleet yang menyebut Indonesia menghilang pada 2030.

Sekali lagi inilah tantangan besar di saat negeri ini merayakan 73 tahun kemerdekaannya. Untuk mengurai tantangan tersebut, salah satu indikator yang dapat digunakan adalah nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sebagaimana dijelaskan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), di dalam IPM ini ada tiga dimensi dasar yang diukur, yakni kesehatan, pendidikan, serta standar hidup layak. 

Merujuk data yang dirilis BPS tahun ini, pembangunan manusia di Indonesia dinilai terus mengalami kemajuan. Pada tahun 2017, IPM Indonesia mencapai 70,81. Angka ini meningkat sebesar 0,63 poin atau tumbuh sebesar 0,90 persen dibandingkan tahun 2016. 

Kualitas Pendidikan yang Minim
Namun demikian, laporan World Bank yang dirilis pada awal tahun ini menyebutkan juga bahwa pertumbuhan ekonomi dalam satu dekade terakhir hanya menguntungkan 20 persen orang paling kaya di Indonesia saja. Artinya, kebanyakan orang Indonesia masih belum menikmati pertumbuhan ekonomi yang kerap dijadikan indikator keberhasilan pemerintah.

Fenomena semacam itu sesungguhnya bukan hal asing yang terjadi di negeri ini maupun di sejumlah negara berkembang. Berkaca pada fenomena yang ada serta merujuk pada salah satu dimensi IPM, maka faktor pendidikan menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Premis besarnya adalah ketika kualitas pendidikan diperbaiki dan ditingkatkan mutunya maka diharapkan akan terjadi perbaikan IPM sekaligus menurunkan tingkat kesenjangan di negeri ini. 

Tapi, seperti apakah gambaran kualitas pendidikan Indonesia pada saat ini? Mengutip laporan CNN Indonesia (2018), kualitas pendidikan Indonesia menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC) berada di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia ternyata masih berada di bawah Vietnam. Lalu, laporan The World Economic Forum Swedia (2000) mengungkap Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia.

Gambaran global itu tentunya menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi oleh pemimpin Indonesia ke depan. Artinya, siapapun yang kelak memimpin Indonesia, perbaikan mutu dan kualitas pendidikan harus diperjuangkan sekuat tenaga. 

Mengapa harus diperjuangkan? Karena hanya dengan pendidikan yang baik maka negeri ini akan bisa bersaing di era global yang telah bebas batas negara the state of borderless. Ketika negeri ini memiliki daya saing yang tinggi maka kemampuan untuk merespons tantangan, baik secara domestik maupun global, akan bisa dilakukan secara optimal.

Lantas bagaimanakah cara untuk mendorong tumbuhnya daya saing negeri ini? Salah satu cara yang dapat dikembangkan adalah melahirkan kurikulum pendidikan yang bersifat responsif terhadap kemajuan zaman. Mindset kurikulum yang selama ini masih digunakan sudah seharusnya dikaji ulang. Kurikulum yang hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan substansial masyarakat sudah saatnya direvisi. 

Singkatnya, untuk mengarah pada mindset baru tersebut maka diperlukan adanya sejumlah perbaikan terhadap efektivitas, efisiensi, dan standarisasi pengajaran. Para pengajar, khususnya di lembaga pendidikan tinggi, sudah seharusnya mengembangkan model pengajaran yang mampu mengadopsi kemajuan teknologi untuk merangsang tumbuhnya kreatifitas para peserta didik.

Harapannya, ujung dari perbaikan itu bisa melahirkan lulusan-lulusan yang kreatif sekaligus melek teknologi. Inilah yang menjadi kunci untuk menghadapi era disrupsi sekaligus persaingan global yang makin kompetitif di masa mendatang.

Untuk melahirkan lulusan-lulusan yang kreatif sekaligus melek teknologi itu memang bukanlah pekerjaan mudah seperti membalikkan telapak tangan. Di sini perlu dilakukan usaha dan kerja keras yang tak boleh kenal lelah. Ikhtiar itu harus terus dilakukan dengan penuh kesadaran bersama bahwa negeri ini harus bisa bangkit dari segala ketertinggalannya. 

Percayalah, ketika pendidikan negeri ini bisa melahirkan para lulusan kreatif maka akan semakin memudahkan negeri ini menghadapi persaingan secara global. Di saat daya saing semakin kuat maka di sanalah akan tumbuh kemampuan negeri ini untuk bisa bangkit di atas kakinya sendiri.

Untuk itulah, Indonesia butuh kerja secara bersama-sama untuk mewujudkan mimpi besar dari anugerah kemerdekaan ini. Tantangan domestik berupa pemilihan presiden harusnya jangan membuat negeri ini bergerak mundur akibat perbedaan pilihan politik. Seharusnya, adanya perbedaan-perbedaan itu, bisa membuat bangsa ini semakin kuat untuk menghadapi tantangan yang semakin sulit di masa depan. 

Inilah pilihan yang harusnya dilakukan jika Indonesia ingin bangkit. Kesadaran ini harusnya bisa didesiminasikan serta ditumbuhkan kepada generasi muda bangsa ini. Polemik politik domestik serta tantangan globalisasi adalah keniscayaan yang harusnya menguatkan negeri ini untuk menjadi bangsa yang kompetitif. 

Sekali lagi, inilah semangat kemerdekaan Indonesia pada usianya yang telah menginjak 73 tahun. Dan, kita masih harus bekerja bersama-sama untuk mewujudkan anugerah kemerdekaan itu demi menghadirkan Indonesi a yang dicita- citakan para pendiri negeri ini.