Tiada yang menampik kalau laju perkembangan industri dan teknologi telah bergerak begitu pesat di dunia. Klaus Schwab, seorang ekonom asal Jerman yang juga menjadi pendiri Forum Ekonomi Dunia, menggambarkan saat ini dunia tengah memasuki revolusi industri generasi keempat (Fourth Industrial Revolution, 4IR). Dalam buku berjudul The Fourth Industrial Revolution (2017), ia menulis revolusi generasi keempat ditandai dengan munculnya superkomputer, robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi, editing genetik dan perkembangan neuroteknologi yang memungkinkan manusia untuk lebih mengoptimalkan fungsi otak. 4IR telah menemukan pola baru ketika disruptif teknologi hadir begitu cepat dan mengancam keberadaan perusahaan-perusahaan incumbent yang telah mapan.
Pada era 4IR ini, ukuran besar perusahaan tidak menjadi jaminan. Kunci keberhasilan untuk meraih prestasi dengan cepat adalah kelincahan dan kecepatan perusahaan dalam merespons tantangan. Ini ditunjukkan oleh Uber. Aplikasi berbasis teknologi ini telah membuktikan ancamannya yang nyata kepada para pelaku industri transportasi di seluruh dunia. Contoh lainnya Airbnb yang mengancam pemain-pemain utama di industri jasa pariwisata. Sekali lagi semua itu membuktikan bahwa yang cepat dapat memangsa yang lambat, bukan yang besar memangsa yang kecil. Untuk itu, sudah sewajarnya perusahaan-perusahaan masa kini harus lebih peka dan responsif untuk melakukan instrospeksi diri.
Lantas, apakah pergeseran itu hanya dialami pada perusahaan-perusahaan berorientasi bisnis saja? Sesungguhnya, perubahan yang didorong oleh inovasi dalam sains dan teknologi itu bisa juga terjadi di dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Negara-negara maju, yang selama ini menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah menyadari perubahan tersebut. Kondisi itu tentunya perlu disikapi juga pada sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Perubahan disruptif—menjungkirbalikkan sistem yang berlaku hingga akhirnya terjadi perubahan mendasar – tak boleh diabaikan. Artinya, perguruan tinggi pun tak lepas dari ancaman disrupted bila tidak segera melakukan perubahan dan menyesuaikan peranannya di dunia pendidikan.
Perubahan itu tentunya tidak bisa dipisahkan dengan pergeseran perilaku masyarakat yang kian adaptif terhadap perkembangan teknologi. Untuk itu, perguruan tinggi harus bisa mengantisipasinya. Dalam hal ini bagaimana mempersiapkan langkah untuk merespons tantangan dalam memposisikan dirinya sebagai penyedia jasa layanan pendidikan tinggi. Inilah yang harusnya dipersiapkan sejak dini.
Menghadapi Era Disruptif
Untuk merespons perubahan yang bergerak cepat tadi, perlu kiranya untuk melihat perguruan tinggi itu sebagaimana halnya suatu perusahaan. Dalam perumpamaan ini, Chris Bradley and Clayton O’Toole (2016) mengilustrasikannya ke dalam empat tahapan posisi perusahaan saat menghadapi era disruptif teknologi.
Tahap pertama, sinyal di tengah kebisingan (Signals Amidst the Noise). Pada tahun 1990, Polygram tercatat sebagai salah satu perusahaan recording terbesar di dunia. Delapan tahun berselang, perusahaan ini dijual. Situasi itu terjadi ketika teknologi MP3 baru saja ditemukan sehingga pemilik masih merasakan puncak kejayaan Polygram pada saat itu dan memperoleh nilai (value) penjualan yang optimal. Contoh lainnya adalah industri surat kabar tradisional yang mengejar oplah dan pemasukan dari pemasangan iklan. Kemunculan internet yang mengancam dimanfaatkan oleh Schibsted, salah satu perusahaan media asal Norwegia yang menggunakan internet untuk mengantisipasi ancaman sekaligus memanfaatkan peluang bisnis. Perusahaan ini melakukan disruptif terhadap bisnis inti mereka melalui media internet yang akhirnya menjadi tulang punggung (backbone) bisnis mereka dikemudian hari. Pada tahap ini, perusahaan (incumbent) merespons perkembangan teknologi secara cepat dengan menggeser posisi nyaman dari bisnis inti yang mereka geluti dengan mengikuti tren perkembangan teknologi, preferensi konsumen, regulasi dan pergeseran lingkungan bisnis.
Tahap kedua, perubahan lingkungan bisnis tampak lebih jelas (Change Takes Hold). Pada tahap ini perubahan sudah tampak jelas, baik secara teknologi maupun dari sisi ekonomis. Namun, pada tahap ini dampaknya pada kinerja keuangan masih relatif tidak signifikan sehingga belum dapat disimpulkan apakah model bisnis baru akan lebih menguntungkan atau sebaliknya dalam jangka panjang. Tetapi dampak yang belum signifikan ini ditanggapi secara serius oleh Netflix pada tahun 2011 ketika menganibalisasi bisnis inti mereka yakni menggeser fokus bisnis dari penyewaan DVD menjadi streaming. Ini merupakan keputusan besar yang berhasil menjaga keberlangsungan perusahaan dikemudian hari sehingga tidak mengikuti kebangkrutan pesaingnya, Blockbuster.
Tahap ketiga, transformasi yang tak terelakkan (the Inevitable Transformation). Pada tahap ini, model bisnis baru sudah teruji dan terbukti lebih baik dari model bisnis yang lama. Oleh sebab itu, perusahaan incumbent akan mengakselerasi transformasi menuju model bisnis baru. Namun demikian, transformasi pada tahap ini akan lebih berat mengingat perusahaan incumbent relatif sudah besar dan gemuk sehingga tidak selincah dan seadaptif dibanding perusahaan-perusahaan pendatang baru (startup company) yang hadir dengan model bisnis baru. Pada tahap ini, perusahaan sudah tertekan pada sisi kinerja keuangan sehingga akan menekan budget, bahkan mengurangi beberapa aktivitas bisnis dan fokus hanya pada inti bisnis perusahaan incumbent.
Tahap keempat, adaptasi pada keseimbangan baru (Adapting to the New Normal). Pada tahapan ini, perusahaan incumbent sudah tidak memiliki pilihan lain selain menerima dan menyesuaikan pada keseimbangan baru. Pilihan itu harus diambil karena fundamental industri telah berubah dan perusahaan incumbent tidak lagi menjadi pemain yang dominan. Perusahaan incumbent hanya dapat berupaya untuk tetap bertahan di tengah derasnya terpaan kompetisi. Pada tahap ini para pengambil keputusan di perusahaan incumbent harus jeli dalam mengambil keputusan seperti halnya Kodak yang keluar lebih cepat dari industri fotografi sehingga tidak mengalami keterperosokan yang semakin dalam.
Proyeksi Jangka Panjang
Berdasarkan pada ilustrasi tadi maka perguruan tinggi harusnya bisa secara dini dapat mengindentifikasi tantangan yang akan mereka hadapi di masa mendatang. Setidaknya diperlukan proyeksi jangka panjang, 15-30 tahun ke depan untuk mencermati perubahan perilaku masyarakat. Bersama masyarakat, perguruan tinggi harusnya mampu mengatasi bermacam tantangan yang timbul. Salah satunya terkait dengan laju pertumbuhan penduduk. Dalam hal ini bagaimana perguruan tinggi bisa merespons tantangan pemerataan kesempatan belajar ketika negeri ini memiliki barrier secara geografis maupun strata sosial yang masih sangat timpang.
Tantangan berikutnya bagaimana perguruan tinggi berperan aktif dalam memecahkan berbagai permasalahan nasional. Tantangan ini menjadi berat ketika perkembangan teknologi digital dengan artificial intelligence (AI)-nya yang telah mengubah data menjadi informasi. Situasi ini membuat orang bisa dengan mudah dan murah memperoleh kebutuhan informasi. Perubahan ini tentunya berpengaruh pada tata kerja perguruan tinggi sebagai salah satu sumber informasi yang harus menyesuaikan diri dan menarik manfaat dari kemudahan-kemudahan tersebut. Termasuk di dalamnya perubahan dalam tata cara belajar dan mengajar.
Dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan tersebut, perguruan tinggi terus tertantang untuk tetap menjalankan berbagai perannya, yaitu pendidikan dan pengajaran, pengembangan, serta diseminasi, sebagai lumbung khasanah ilmu bagi masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, setidaknya ada tiga hal penting yang perlu direspons. Pertama, perguruan tinggi harus mulai menerapkan system pengajaran hybrid. Di sini, perguruan tinggi harus dapat merespons perkembangan peran teknologi. Dalam hal ini harusnya mulai dipikirkan penerapan teknologi pembelajaran atau perkuliahan secara daring yang kini dikenal sebagai Massive Open Online Courses (MOOCs). Namun cara pembelajaran dan perkuliahan seperti ini seperti masih belum bisa diterapkan secara luas pada mata pelajaran yang memerlukan pelatihan keterampilan yang bergantung pada peralatan dalam laboratorium atau yang memerlukan komunikasi dekat dengan dosen atau pembimbing perkuliahan tingkat tinggi dan pascasarjana yang diikuti oleh sedikit mahasiswa.
Kedua, perlu dipikirkan pembentukan lembaga penjamin mutu perkuliahan daring. Lembaga ini dapat dibentuk antarperguruan tinggi atau dapat pula oleh pemerintah, yang bertugas memberi jaminan pada pasar kerja mengenai kemampuan lulusan untuk memenuhi keperluan lapangan kerja. Sertifkasi semacam ini diperlukan antara lain bila seorang mahasiswa sebagian besar beban akademiknya diambil dari berbagai sumber. Ketiga, menyelenggarakan diseminasi ilmu secara daring. Dalam diseminasi, jenis pengetahuan yang disampaikan sangat berbeda dengan suatu perkuliahan. Dalam hal ini, materi yang disiapkan untuk membentuk mahasiswa dengan membekali mereka pengetahuan tentang hal-hal praktis yang dihadapinya.
Selain mahasiswa, dosen pun perlu mendapat perhatian besar. Untuk mendorong terjadinya perubahan pada seorang dosen, maka perlu dilakukan dua hal. Yakni, kurangi beban dosen namun mereka harus didorong mengikuti pelatihan tentang metode pengajaran mutakhir. Harus diakui, sejauh ini masih banyak dosen yang hanya membaca catatan dan/atau buku di kelas, terlebih di perguruan daerah. Tentunya hal ini tidak menguntungkan dalam percaturan internasional. Hal lainnya bagaimana mendorong dosen itu harus memiliki multitalenta. Menghadapi perubahan yang bersifat disruptif ini, dosen harus memiliki lebih dari satu bidang pengetahuan —teoretis dan praktis— sebagaimana yang dimaksud dengan kemampuan/ keterampilan. Dosen/pengajar masa depan harus menguasai berbagai bidang dan topik atau isu secara multi-, inter-, hingga transdisiplin. Untuk itu dosen, seperti halnya profesi lain, harus diberi waktu, seperti menjalankan sabbatical leave, supaya dapat terus mengikuti perkembangan agar mampu melaksanakan proses belajarmengajar sesuai dengan perkembangan zaman.
Tantangan penting dari perguruan tinggi adalah menghasilkan penelitian. Kegiatan penelitian ini merupakan hal yang sangat penting di perguruan tinggi, terutama untuk perguruan tinggi riset. Penelitian harus bersifat dinamis dan harus senantiasa dapat beradaptasi dengan semua perubahan, termasuk pola pendidikan yang trans-, inter-, dan multidisiplin, kemampuan bekerja sama serta pemanfaatan data dalam jumlah yang sangat besar (big data). Perubahan dan disrupsi dalam bidang pendidikan baik secara langsung ataupun tidak langsung juga merupakan hasil dari proses penelitian.
Lima Nilai Dasar
Selain menyiapkan langkah-langkah responsif untuk menjawab tantangan, perguruan tinggi harus menanamkan lima nilai dasar untuk membekali mahasiswa unggul dalam menghadapi perubahan, yaitu resilience, adaptivity, integrity, competency, dan continuous improvement.
Daya tahan, resilience, ini dibutuhkan di tengah ketidakpastian, iklim persaingan, dan berbagai guncangan perekonomian, benturan kebudayaan, serta adanya disruptive innovation. Di sini, seorang mahasiswa harus memiliki kemampuan untuk bertahan hidup, survival, tidak mudah menyerah dan frustrasi menghadapi berbagai keadaan.
Berikutnya, adaptivity yang mendorong mahasiswa untuk mampu melakukan adaptasi atau menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik di level domestik maupun internasional.
Sedangkan integrity, mahasiswa harus memegang teguh integritas pribadi dan profesional, seperti kejujuran, toleransi, gotong-royong, tolong-menolong, mematuhi kaidah ilmiah, dan profesional. Kebijakan memberikan sanksi yang tegas untuk setiap pelanggaran aturan dan penegakan hukum dengan tegas akan menjadikan mahasiswa menjadi pribadi berintegritas.
Lalu, competency, di mana mahasiswa harus memiliki kompetensi dan kualifkasi dalam bidang yang digeluti serta mampu memahami perkembangan bidang lain sehingga tidak berpandangan sempit. Kebijakan memberikan keleluasaan/mewajibkan mahasiswa mengambil mata kuliah di bidang lain merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kompetensi bidang dan pengetahuan lintas bidang.
Sementara, continuous improvement lebih menyiapkan mahasiswa untuk menjadi pembelajar sejati supaya terus melakukan perbaikan dalam bidang yang ditekuninya.
Proses Seleksi Alam
Untuk mengakhiri orasi ini, ijinkan saya untuk menyampaikan sepenggal kalimat dari Rhenald Kasali (2017): “Suka atau tak suka, selalu ada pemenang dan pecundang dalam proses seleksi alam. Proses seleksi alam selalu menyisakan suatu kepedihan, yaitu penderitaan bukan kepada yang lemah, melainkan kepada yang kurang bisa memenuhi tuntuan zaman. Mereka yang kuat dan bermodal besarpun bisa tersingkir dari seleksi alam karena ketakderdayaan alamiah, terlena, salah membaca, salah bergerak, atau terlambat merespons.”